BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semua
kehidupan hamba Allah yang dilaksanakan dengan niat mengharap keridhaan Allah
SWT itu bernilai ibadah. Beribadah itu hanya diri sendiri dan Allah yang tahu
apakah ikhlas atau karena riya? Ibadah sendiri secara umum dapat dipahami
sebagai wujud penghambaan diri seorang makhluk kepada Sang Khaliq. Penghambaan
itu lebih didasari pada perasaan syukur atas semua nikmat yang telah
dikaruniakan oleh Allah kepada-Nya dengan menjalankan titah-Nya sebagai Rabbul
‘Alamin.
Namun
demikian, ada pula yang menjalankan ibadah hanya sebatas usaha untuk
menggugurkan kewajiban, dan tidak lebih dari itu. Misalnya, saat ini banyak
umat islam yang tidak berjamaah ke masjid kecuali shalat jum’at. Bahkan ada
pula yang tidak shalat kecuali pada hari raya. Islamnya hanya ada di kartu
identitas. Dan ada pula yang beribadah, mendekatkan diri kepada Allah hanya
pada saat ibadah ritual saja, setelah itu dia jauh dari ridlo Allah.
Sepintas
yang ada di benak kita tentang ibadah adalah hanya suatu bentuk hubungan
manusia dengan sang khalik. Padahal tidak demikian, bentuk dari ibadah itu ada
2 ada yang hubungannya langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada perantara
yang merupakan bagian dari ritual formal atau hablum minallah dan ada
yang ibadah secara tidak langsung, yakni semua yang berkaitan dengan masalah
muamalah, yang disebut dengan hablum minannas, hubungan antar manusia. Dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai pembagian ibadah itu, yang mencakup
ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah serta ruang lingkup, hakikat, dan hikmah
ibadah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ibadah, ibadah mahdah dan
ghair mahdah ?
2.
Sebutkan ruang lingkup ibadah ?
3.
Apa hakikat dan hikmah ibadah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ibadah, Ibadah Madhah dan Ibadah Ghair Mahdah
1.
Ibadah
Secara
etimologi, kata ibadah berasal dari bahasa Arab, dari kata abdun artinya hamba
(abdi), ibadah artinya pengabdian. Jadi, ibadah dimaksudkan sebagai sarana
pengabdian atau penyembahan kepada Allah.
Secara
termonologi, pengertian ibadah banyak ragamnya sesuai dengan sudut pandang
masing-masing ulama, antara lain sebagai berikut :
Pengertian
umum ibadah ialah : sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
Menurut
- ulama Tauhid, ibadah ialah : mengesakan Allah, membesarkan-Nya dengan
sepenuh-penuhnya, serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya.[1]
adalah
ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesign oleh Allah SWT
kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti sholat
fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari
Allah turun kepada Rasulullah kemudian wajib ditirukan oleh umatnya tanpa
boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
2.
Ibadah Mahdah
Ibadah
mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan
Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah
yang termasuk mahdhah[2],
adalah :
a)
Wudhu,
b)
Tayammum
c)
Mandi hadats
d) Shalat
e)
Shiyam ( Puasa )
f)
Haji
g)
Umrah
Apa
pernah ada yang berani menambah atau memperbaharui ibadah semacam itu?
Jawabannya ada, yaitu Muawiyah. Dalam Sunah Rasulullah ibadah jum’at didahului
dengan 2 khotbah, sedangkan sholat 2 Id didahului sholat baru kemudian khutbah.
Ibadah cara ini kemudian oleh Muawiyah diubah yaitu tatakala sholat Id, dia
melangkah ke mimbar dan memberi khotbah baru kemudian sholat. Oleh para ulama’
pada masa itu telah diingatkan,
“Hai
Muawiyah, sungguh engkau melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah” Kemudian Muawiyah menjawab,
“Kalau
aku khutbah setelah usai sholat maka tidak ada manusia yang akan mendengarkan
khutbahku” sambil berlalu menuju ke mimbar dan ia sungguh telah berkotbah
sebelum sholat Id didirikan. Inilah bid’ah yang sesat itu.
Sholat
dengan bahasa Indonesia, seperti yang terjadi di Jawa Timur, itu juga bid’ah
dholalah (sesat) karena sholat masuk ke dalam ranah ibadah mahdoh sehingga
mengubah dan menambahi aturan di dalamnya termasuk kategori sesat. Bukankah
Rasulullah sudah menggariskan “Sholluu kamaa roaitumuuni usholli
–sholatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku sholat”. Ibadah bentuk ini
memiliki 4 prinsip, yaitu:
a.
Keberadaannya
harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun
al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal
atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada
perintah.
b.
Tatacaranya harus
berpola kepada contoh Rasul saw
c.
Bersifat suprarasional
(di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika,
karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi
memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan,
tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan
oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
d.
Azasnya
“taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah
kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan
Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan
untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.[3]
3.
Ibadah Ghairu
Mahdah
Ibadah
ghoiru mahdoh : adalah seluruh perilaku seorang hamba yang
diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak
ada aturan baku dari Rasulullah. Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah
ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah.
misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialahsedekah, belajar, dzikir, dakwah,
tolong menolong dan lain sebagainya.[4]
Prinsip-prinsip
dalam ibadah ini, ada 4:
a.
Keberadaannya didasarkan
atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.Selama tidak diharamkan
oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b.
Tatalaksananya
tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini
tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya,
segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya
disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam
ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c.
Bersifat
rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat
atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.
Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka
tidak boleh dilaksanakan.
d.
Azasnya
“Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Maka segala bentuk kegiatan baik yang
ditujukan untuk meraih ridho Allah masuk ke dalam ranah ibadah ghairu
mahdah.[5]
B.
Ruang Lingkup Ibadah
Islam
amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila
diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta
dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan olehNya. Islam tidak membatasi
ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan
manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka
kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Islam mempunyai keistimewaan
dengan menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila ia diniatkan
dengan penuh ikhlas karena Allah demi untuk mencapai keridaan Nya serta
dikerjakan menurut cara cara yang disyariatkan oleh Nya.
Islam
tidak menganggap ibadah ibadah tertentu saja sebagai amal saleh akan tetapi
meliputi segala kegiatan yang mengandung kebaikan yang diniatkan karena Allah
SWT. Mencakup setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik
yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah 'ibadah menurut
Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu. Setiap apa yang dilakukan
baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah
menurut Islam ketika ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Syarat
syarat tersebut adalah :
a.
Amalan yang
dikerjakan itu hendaklah diakui Islam, sesuai dengan hukum hukum syara' dan
tidak bertentangan dengan hukum hukum tersebut. Adapun amalan - amalan yang diingkari
oleh Islam dan ada hubungan dengan yang haram dan maksiyat, maka tidaklah bisa
dijadikan amalan ibadah.
b.
Amalan tersebut
dilakukan dengan niat yang baik dengan tujuan untuk memelihara kehormatan diri,
menyenangkan keluarga nya, memberi manfaat kepada seluruh umat dan untuk
kemakmuran bumi seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.
c.
Amalan tersebut
haruslah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
d.
Ketika membuat
amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum - hukum syara' dan ketentuan
batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak
menindas atau merampas hak orang.
e.
Tidak melalaikan
ibadah - ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalammelaksanakan
ibadah - ibadah umum.[6]
Ruang
lingkup ibadah secara umum adalah:
a)
Thaharah,
b)
Shalat, termasuk
doa, dzikir dan tilawah al-Quran
c)
Puasa, termasuk
‘ibadah badaniyyah atau ibadah dzatiyyah
d)
Zakat, termasuk
‘ibadah maliyyah
e)
Haji, termasuk
ibadah ijtima’iyyah
f)
Pengurusan
jenazah termasuk ‘ibadah badaniyyah
g)
Penyembelihan
hewan
h)
Sumpah dan nazar
i)
Makanan dan
minuman ibadah badaniyyah
j)
Jihad, ibadah
badaniyyah dan maliyyah[7]
C.
Hakikat dan Hikmah Ibadah
Hakikat
ibadah ialah ketundukan jiwa yang timbul karena perasaan cinta akan Tuhan yang
ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beritikad bahwa alam ini ada
kekuasaan, yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya.
Apabila
makna ibadah yang diberikan oleh masing-masing ilmu diperhatkan baik-baik,
nyatalah bahwa takrif yang diberikan oleh suatu golongan berpaut untuk
menyempurnakannya dengan takrif yang diberikan oleh golongan yang lain.[8]
Hakikat
ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan
maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari
definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah
mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa
setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita
akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi
terhadap kehidupan akhirat.
Allah
SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.
`yJsù ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB >o§s #\øyz ¼çntt ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB ;o§s #vx© ¼çntt ÇÑÈ
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan
melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” QS. Al zalzalah:8-9
Pada
suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi
Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya
seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai
ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan
sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau
berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan
merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki
itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa,
sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang
diperintahkan.
Akan
tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan
dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan
sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan
Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika
hal ini benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat
yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput
sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah
adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan menunggalkan-Nya sebagai
tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran
akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua
makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari
beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin besar ketergantungan dan
harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah dirinya dari yang
selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak akan mempengaruhi
kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari Allah dalam arti
sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan hati[9]
Hikmah
Ibadah
1.
Tidak
Syirik. Seorang hamba yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa
beribadah menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk
syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih
besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat
mengungguli-Nya.
2.
Memiliki
ketakwaan. Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang
dilakukan manusia setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah
manusia melihat kemurahan dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah
kepada Nya. Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia
menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan.
Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul
ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena
tidak menjalankankewajiban.
3.
Terhindar dari
kemaksiatan. Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat
menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa
dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang
harus selaludipakai dimanapun manusia berada.
4.
Berjiwa sosial,
ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan
disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang
dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya
lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong
hamba tersebut lebih memperhatikan oranglain.
5.
Tidak
kikir. Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi
milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi
karena kecintaan manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia
lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT,
senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa
miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya
semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan
hartauntuk keperluan umat.[10]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ibadah
ialah : sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ibadah mahdhah atau ibadah
khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata
cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdha. Ibadah
ghoiru mahdoh : adalah seluruh perilaku seorang hamba yang
diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah).
Ruang
lingkup ibadah secara umum adalah:
1.
Thaharah,
2.
Shalat, termasuk
doa, dzikir dan tilawah al-Quran
3.
Puasa, termasuk
‘ibadah badaniyyah atau ibadah dzatiyyah
4.
Zakat, termasuk
‘ibadah maliyyah
5.
Haji, termasuk
ibadah ijtima’iyyah
6.
Pengurusan
jenazah termasuk ‘ibadah badaniyyah
7.
Penyembelihan
hewan
8.
Sumpah dan nazar
9.
Makanan dan
minuman ibadah badaniyyah
10.
Jihad, ibadah
badaniyyah dan maliyyah
Hakikat ibadah ialah
ketundukan jiwa yang timbul karena perasaan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan
merasakan kebesaran-Nya, lantaran beritikad bahwa alam ini ada kekuasaan, yang
akal tak dapat mengetahui hakikatnya.
Hikmah
Ibadah
1.
Tidak
Syirik.
2.
Memiliki
ketakwaan.
3.
Terhindar
kemaksiatan
4.
Berjiwa sosial,
5.
Tidak kikir.
DAFTAR PUSTAKA
Al
manar. Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, Surabaya: PT. pamator, 1999,
Cet. Ke-1,
Hasbi,
M. Kuliah Ibadah, Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000
Qardhawi. Yusuf, Konsep Ibadah Dalam Islam,
Bandung: Mizan, 2002, Cet. Ke-2,
[1] Admin
Bisosial, Makalah Ibadah, http://www.bisosial.com/2013/02/makalah-tentang-ibadah_25.html,
diakses pada tanggal 3 Februari 2015.
[2] Umai, Ibadah
Madhah dan Ghairu Mahdah, https://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/,
diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[4] Aik, Makalah
Ghairu Mahdah, http://makalah-aik.blogspot.com/2013/06/makalah-aik.html,
diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[6]
Sodik
Muhammad. Hubungan Ibadah dan Kesalehan Sosial. http://sodikinmuhammad.blogspot.com/2011/12/
04.html,
diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[8] Tgk. M. Hasbi, Kuliah Ibadah, (Semarang:Pustaka
Rizki Putra, 2000)hal.8
[10] See
Yunda, Hikmah Ibadah, http://seeayunda.blogspot.com/2013/04/pengertian-hakikat-dan-hikmah-ibadah.html,
diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar