Minggu, 08 Maret 2015

Ibadah Mahdhah

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Semua kehidupan hamba Allah yang dilaksanakan dengan niat mengharap keridhaan Allah SWT itu bernilai ibadah. Beribadah itu hanya diri sendiri dan Allah yang tahu apakah ikhlas atau karena riya? Ibadah sendiri secara umum dapat dipahami sebagai wujud penghambaan diri seorang makhluk kepada Sang Khaliq. Penghambaan itu lebih didasari pada perasaan syukur atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada-Nya dengan menjalankan titah-Nya sebagai Rabbul ‘Alamin.
Namun demikian, ada pula yang menjalankan ibadah hanya sebatas usaha untuk menggugurkan kewajiban, dan tidak lebih dari itu. Misalnya, saat ini banyak umat islam yang tidak berjamaah ke masjid kecuali shalat jum’at. Bahkan ada pula yang tidak shalat kecuali pada hari raya. Islamnya hanya ada di kartu identitas. Dan ada pula yang beribadah, mendekatkan diri kepada Allah hanya pada saat ibadah ritual saja, setelah itu dia jauh dari ridlo Allah.
Sepintas yang ada di benak kita tentang ibadah adalah hanya suatu bentuk hubungan manusia dengan sang khalik. Padahal tidak demikian, bentuk dari ibadah itu ada 2 ada yang hubungannya langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada perantara yang merupakan bagian dari ritual formal atau hablum minallah  dan ada yang ibadah secara tidak langsung, yakni semua yang berkaitan dengan masalah muamalah, yang disebut dengan hablum minannas, hubungan antar manusia. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pembagian ibadah itu, yang mencakup ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah serta ruang lingkup, hakikat, dan hikmah ibadah.
B.            Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan ibadah, ibadah mahdah dan ghair mahdah ?
2.    Sebutkan ruang lingkup ibadah ?
3.    Apa hakikat dan hikmah ibadah ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Ibadah, Ibadah Madhah dan Ibadah Ghair Mahdah
1.             Ibadah
Secara etimologi, kata ibadah berasal dari bahasa Arab, dari kata abdun artinya hamba (abdi), ibadah artinya pengabdian. Jadi, ibadah dimaksudkan sebagai sarana pengabdian atau penyembahan kepada Allah.
Secara termonologi, pengertian ibadah banyak ragamnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing ulama, antara lain sebagai berikut :
Pengertian umum ibadah ialah : sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
Menurut - ulama Tauhid, ibadah ialah : mengesakan Allah, membesarkan-Nya dengan sepenuh-penuhnya, serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya.[1]
adalah ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesign oleh Allah SWT kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti sholat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
2.             Ibadah Mahdah
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah[2], adalah :
a)        Wudhu,
b)        Tayammum
c)        Mandi hadats
d)       Shalat
e)        Shiyam ( Puasa )
f)         Haji
g)        Umrah
Apa pernah ada yang berani menambah atau memperbaharui ibadah semacam itu? Jawabannya ada, yaitu Muawiyah. Dalam Sunah Rasulullah ibadah jum’at didahului dengan 2 khotbah, sedangkan sholat 2 Id didahului sholat baru kemudian khutbah. Ibadah cara ini kemudian oleh Muawiyah diubah yaitu tatakala sholat Id, dia melangkah ke mimbar dan memberi khotbah baru kemudian sholat. Oleh para ulama’ pada masa itu telah diingatkan,
“Hai Muawiyah, sungguh engkau melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah” Kemudian Muawiyah menjawab,
“Kalau aku khutbah setelah usai sholat maka tidak ada manusia yang akan mendengarkan khutbahku” sambil berlalu menuju ke mimbar dan ia sungguh telah berkotbah sebelum sholat Id didirikan. Inilah bid’ah yang sesat itu.
Sholat dengan bahasa Indonesia, seperti yang terjadi di Jawa Timur, itu juga bid’ah dholalah (sesat) karena sholat masuk ke dalam ranah ibadah mahdoh sehingga mengubah dan menambahi aturan di dalamnya termasuk kategori sesat. Bukankah Rasulullah sudah menggariskan “Sholluu kamaa roaitumuuni usholli –sholatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku sholat”. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip, yaitu:
a.              Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
b.             Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw
c.              Bersifat suprarasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d.             Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.[3]
3.             Ibadah Ghairu Mahdah
Ibadah ghoiru mahdoh : adalah seluruh perilaku seorang hamba yang diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah. Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialahsedekah,  belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.[4]
Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a.              Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b.             Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c.              Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d.             Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Maka segala bentuk kegiatan baik yang ditujukan untuk meraih ridho Allah masuk ke dalam ranah ibadah ghairu mahdah.[5]
B.            Ruang Lingkup Ibadah
Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan olehNya. Islam tidak membatasi ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Islam mempunyai keistimewaan dengan menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila ia diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi untuk mencapai keridaan Nya serta dikerjakan menurut cara cara yang disyariatkan oleh Nya.
Islam tidak menganggap ibadah ibadah tertentu saja sebagai amal saleh akan tetapi meliputi segala kegiatan yang mengandung kebaikan yang diniatkan karena Allah SWT. Mencakup setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah 'ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam ketika ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Syarat syarat tersebut adalah :
a.              Amalan yang dikerjakan itu hendaklah diakui Islam, sesuai dengan hukum hukum syara' dan tidak bertentangan dengan hukum hukum tersebut. Adapun amalan - amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang haram dan maksiyat, maka tidaklah bisa dijadikan amalan ibadah.
b.             Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik dengan tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga nya, memberi manfaat kepada seluruh umat dan untuk kemakmuran bumi seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.
c.              Amalan tersebut haruslah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
d.             Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum - hukum syara' dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
e.              Tidak melalaikan ibadah - ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalammelaksanakan ibadah - ibadah umum.[6]
Ruang lingkup ibadah secara umum adalah:
a)             Thaharah,
b)             Shalat, termasuk doa, dzikir dan tilawah al-Quran
c)             Puasa, termasuk ‘ibadah badaniyyah atau ibadah dzatiyyah
d)            Zakat, termasuk ‘ibadah maliyyah
e)             Haji, termasuk ibadah ijtima’iyyah
f)              Pengurusan jenazah termasuk ‘ibadah badaniyyah
g)             Penyembelihan hewan
h)             Sumpah dan nazar
i)               Makanan dan minuman ibadah badaniyyah
j)               Jihad, ibadah badaniyyah dan maliyyah[7]
C.           Hakikat dan Hikmah Ibadah
Hakikat ibadah ialah ketundukan jiwa yang timbul karena perasaan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beritikad bahwa alam ini ada kekuasaan, yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya.
Apabila makna ibadah yang diberikan oleh masing-masing ilmu diperhatkan baik-baik, nyatalah bahwa takrif yang diberikan oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya dengan takrif yang diberikan oleh golongan yang lain.[8]
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat.
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ   `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ  
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” QS. Al zalzalah:8-9
Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini    benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan hati[9]
Hikmah Ibadah
1.             Tidak Syirik. Seorang hamba yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa beribadah menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli-Nya.
2.             Memiliki ketakwaan. Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya. Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankankewajiban.
3.             Terhindar dari kemaksiatan. Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selaludipakai dimanapun manusia berada.
4.             Berjiwa sosial, ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan oranglain.
5.             Tidak kikir. Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan hartauntuk keperluan umat.[10]



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ibadah ialah : sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdha. Ibadah ghoiru mahdoh : adalah seluruh perilaku seorang hamba yang diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah).
Ruang lingkup ibadah secara umum adalah:
1.             Thaharah,
2.             Shalat, termasuk doa, dzikir dan tilawah al-Quran
3.             Puasa, termasuk ‘ibadah badaniyyah atau ibadah dzatiyyah
4.             Zakat, termasuk ‘ibadah maliyyah
5.             Haji, termasuk ibadah ijtima’iyyah
6.             Pengurusan jenazah termasuk ‘ibadah badaniyyah
7.             Penyembelihan hewan
8.             Sumpah dan nazar
9.             Makanan dan minuman ibadah badaniyyah
10.         Jihad, ibadah badaniyyah dan maliyyah
Hakikat ibadah ialah ketundukan jiwa yang timbul karena perasaan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beritikad bahwa alam ini ada kekuasaan, yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya.
Hikmah Ibadah
1.             Tidak Syirik. 
2.             Memiliki ketakwaan. 
3.             Terhindar kemaksiatan
4.             Berjiwa sosial,
5.             Tidak kikir.



DAFTAR PUSTAKA

Al manar. Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, Surabaya: PT. pamator, 1999, Cet. Ke-1,
Hasbi, M. Kuliah Ibadah, Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000
Qardhawi. Yusuf, Konsep Ibadah Dalam Islam, Bandung: Mizan, 2002, Cet. Ke-2,








[1] Admin Bisosial, Makalah Ibadah, http://www.bisosial.com/2013/02/makalah-tentang-ibadah_25.html, diakses pada tanggal 3 Februari 2015.
[2] Umai, Ibadah Madhah dan Ghairu Mahdah, https://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/, diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[3] Ibid,.
[4] Aik, Makalah Ghairu Mahdah, http://makalah-aik.blogspot.com/2013/06/makalah-aik.html, diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[5] Ibid,.
[6] Sodik Muhammad. Hubungan Ibadah dan Kesalehan Sosial.  http://sodikinmuhammad.blogspot.com/2011/12/ 04.html, diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[7] Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67.
[8] Tgk. M. Hasbi, Kuliah Ibadah, (Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000)hal.8
[9] Abduh Al manar, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.
[10] See Yunda, Hikmah Ibadah, http://seeayunda.blogspot.com/2013/04/pengertian-hakikat-dan-hikmah-ibadah.html, diakses pada tanggal 4 Maret 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar