Selasa, 02 Juni 2015

SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang berfikir, karena kecenderungannya dalam berfikir itu manusia tak pernah luput dari berbagai permasalahan dan problem hidup. Sudah menjadi keharusan dalam kehidupan social, bahwa kepedulian antar sesama harus dijunjung tinggi. Dalam hal ini, bukan hanya bantuan materi yang dibutuhkan, lebih dari itu, dorongan moril dan spiritual sangat berpengaruh dalam membantu seseorang dalam mengoptimalkan kemampuan diri dan memberi solusi dari masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam hal ini, tentunya diperlukan metode-metode yang sistematis dan kiat-kiat kusus agar tujuan yang diharapkan dapat mengena pada sasaran yang diharapkan.
Sebagai calon guru dengan berbagai tanggung jawab yang diempunya, yaitu mendidik para siswanya agar menjadi pribadi yang seutuhnya, sudah selayaknya mampu memahami perkembangan peserta didiknya agar dapat memberikan materi yang efektif, efisien, dan terarah, serta mampu mengoptimalkan potensi peserta didiknya agar lebih dewasa dan mandiri dalam menghadapi problema hidupnya dan masa depan.
Maka, materi bimbingan dan konseling sangat diperlukan bagi semua calon guru, karena pada hakikatnya semua guru memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu membimbing dan mengarahkan peserta didiknya walaupun bukan sebagai guru BK.
B.            Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian bimbingan dan koseling ?
2.    Bagaimana sejarah bimbingan dan konseling ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Bimbingan dan Konseling
a.              Bimbingan
Secara etimologis, kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidance yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing, menuntun, ataupun membantu. Sesuai dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan berarti suatu bantuan atau tuntunan.
Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Years’s Book of Education 1995 menyatakan bimbingan adalah suatu proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemamfaatan social.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “;;Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.[1]

b.             Konseling
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa inggris “to counsel” yang berarti memberi saran dan nasihat.
Rogers (1942) menyatakan konseling adalah serangkai hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.
Sedangkan konseling menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:105) adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimilki kearah perkembangan yang optimal sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial. [2]
B.            Sejarah Bimbingan dan Konseling
a.             Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Kegiatan bimbingan pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi perlu diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah dan profesional masih belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah Pancasila. Berikut ini akan dibahas mengenai perkembangan usaha bimbingan dalam pendidikan di Indonesia.
1.       Sebelum Kemerdekaan
Masa sebelum kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kehidupan rakyat Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah (Pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penjajah). Para siswa dididik untuk mengabdi untuk kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini upaya bimbingan sudah tentu diarahkan bagi perwujudan tujuan pendidikan masa itu yaitu menghasilkan manusia pengabdi penjajah. Akan tetapi, rasa nasionalisme rakyat Indonesia ternyata sangat tebal sehingga upaya penjajah banyak mengalami hambatan.
Rakyat Indonesia yang cinta akan nasionalisme dan kemerdekaan berusaha untuk memperjuangkan kemandirian bangsa Indonesia melalui pendidikan. Salah satu di antaranya adalah Taman Siswa yang dipelopori oleh K.H. Dewantara yang dengan gigih menanamkan nasionalisme di kalangan para siswanya. Dari sudut pandangan bimbingan hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar bagi pelaksanaan bimbingan.
2.      Dekade 40-an (Perjuangan)
Dalam bidang pendidikan, pada dekade ini lebih banyak ditandai dengan perjuangan merealisasikan kemerdekaan melalui pendidikan. Masalah kebodohan dan kerbelakangan merupakan masalah besar dan tantangan yang paling besar bagi pendidikan pada saat itu. Tetapi yang lebih mendalam adalah mendidik bangsa Indonesia agar memahami dirinya sebagai bangsa yang merdeka sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Hal ini pulalah yang menjadi fokus utama dalam bimbingan pada saat itu.
3.      Dekade 50-an (Perjuangan)
Kegiatan bimbingan pada masa dekade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan pendidikan. Upaya membantu siswa dalam mencapai prestasi lebih banyak dilakukan oleh guru di kelas atau di luar. Akan tetapi, pada hakikatnya bimbingan telah tersirat dalam pendidikan dan benar-benar menghadapi tantangan dalam membantu siswa di sekolah agar dapat berprestasi meskipun dalam situasi yang amat darurat.
4.      Dekade 60-an (Perintisan)
Memasuki dekade 60-an suasana politik kurang begitu menguntungkan dengan klimaksnya pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Akan tetapi, dalam dekade ini pula lahir Orde Baru tahun 1966, yang kemudian meluruskan dan menegakkan serta ini sudah mulai mantap dalam merintis ke arah terwujudnya suatu sistem pendidikan nasional.
Keadaan di atas memberikan tantangan bagi keperluan layanan bimbingan dan konseling di sekolah sebagai salah satu kelengkapan sistem. Di sinilah timbul tantangan untuk mulai merintis pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang terprogram dan terorganisasi dengan baik.
5.      Dekade 70-an (Penataan)
Kelahiran orde baru telah banyak menyadarkan bangsa Indonesia akan kelemahan di masa lampau dan kesediaan memperbaiki di masa yang akan datang melalui pembangunan. Repelita pertama mulai dicanangkan dilaksanakan dalam awal dekade ini, dan dilanjutkan dalam dekade-dekade selanjutnya. Pembangunan dalam bidang pendidikan merupakan salah satu penunjang pembangunan nasional. Keadaan tersebut memberikan tantangan dan peluang besar untuk upaya penataan bimbingan baik dalam aspek konseptual maupun operasional.
6.      Dekade 80-an (Pemantapan)
Setelah melalui penataan dalam dekade 70-an, maka dalam dekade 80-an ini bimbingan diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk menuju kepada perwujudan bimbingan yang profesional. Dengan demikian, maka upaya-upaya dalam dekade 80-an lebih mengarah kepada profesionalisasi yang lebih mantap.[3]
Pada saat ini, profesi konselor secara legal formal telah diakui dalam sistem pendidikan nasional. Konselor sekolah atau guru bimbingan dan konseling merupakan profesi yang sudah diakui keberadaannya di sekolah. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru pada pasal 15 yang mengatakan bahwa guru bimbingan dan konseling atau konselor adalah guru pemegang sertifikat pendidikan.[4]
b.             Sejarah Bimbingan dan Konseling internasional
Latar belakang perkembangan profesi konseling tidak dapat dipisahkan dari dua jalur penanganan terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Barat, yaitu tradisi gangguan mental dan penanganan masalah-masalah pendidikan dan pekerjaan di sekolah.[5]
Evolusi profesi konseling dapat terlihat pada rangkaian perjalanan profesi ini yang disusun secara kronologis sebagai berikut:
1.     Era Tahun 1900-1909 (Era Perintisan)
Tiga tokoh utama pada periode ini adalah Jesse B. Davis, Frank Parsons, dan Clifford Beers. Davis adalah orang pertama yang mengembangkan program bimbingan yang sistematis di sekolah-sekolah. Pada tahun 1907, sebagai pejabat yang bertanggung jawab pada the Grand Rapids (Michigan) school system, ia menyarankan agar guru kelas yang mengajar English Composition untuk mengajar bimbingan satu kali seminggu yang bertujuan untuk mengembangkan karakter dan mencegah terjadinya masalah. Sementara itu, Frank Parsons di Boston melakukan hal yang hampir sama dengan Davis. Ia memfokuskan pada program pengembangan dan pencegahan. Ia dikenal karena mendirikan Boston’s Vocational Bureau pada tahun 1908. Berdirinya biro ini mempresentasikan langkah maju diinstitusionalisasikannya bimbingan karier (vocational guidance).
Pada tahun yang sama ketika Frank Parsons mendirikan Vocational Bureau (1908), William Heyle juga mendirikan Community Psychiatric Clinic untuk pertama kalinya. Selanjutnya, The Juvenille Psychopathic institute didirikan untuk memberi bantuan kepada para pemuda di Chicago yang mempunyai masalah. Dalam keadaan tersebut terlibat pula para psikolog. Tentu saja tidak mungkin berbicara soal kesehatan mental tanpa melibatkan orang-orang yang cukup terkenal, seperti Sigmund Freud dan Joseph Breuer.[6]

2.      Era Tahun 1910-1970
Pada era ini konseling mulai diinstitusionalisasikan dengan didirikannya the National Vocational Guidance Association (NVGA) pada tahun 1913. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat mulai memanfaatkan pelayanan bimbingan untuk membantu veteran perang.[7]
 Istilah bimbingan (guidance) ini kemudian menjadi label populer bagi gerakan konseling di sekolah-sekolah selama hampir 50 tahunan. Program bimbingan yang terorganisasikan mulai muncul dengan frekuensi tinggi di jenjang SMP sejak 1920-an, dan lebih intensif lagi di jenjang SMA dengan pengangkatan guru BK yang khusus dipisahkan untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Titik inilah era dimulainya pemfungsian disiplin, kelengkapan daftar hadir selama satu tahun ajaran dan tanggung jawab administrasi lainnya. Akibatnya banyak program pendidikan dekade ini menitikberatkan pada upaya membantu siswa-siswa yang mengalami kesulitan akademis atau pribadi dengan mengirimkan mereka ke guru BK untuk mengubah perilaku atau memperbaiki kelemahan.
Selain jenjang SMP dan SMA, gerakan konseling untuk SD tampaknya juga dimulai di akhir dekade 1920-an hingga awal dekade 1930-an, dipicu oleh tulisan-tulisan dan kerja keras William Burnham yang menekankan peran guru untuk memajukan kesehatan mental anak yang memang banyak diabaikan diperiode tersebut.[8]
Pada dekade 1940-an ditandai munculnya teori konseling Non-Directive yang dipelopori oleh Carl Rogers. Ia mempublikasikan buku yang berjudul Counseling and Psychotherapy pada tahun 1942. Pada tahun 1950-an muncul pula berbagai organisasi konseling yaitu the American Personnel and Guidance Association (APGA). Selanjutnya disahkannya the National Defense Education Act (NDEA) pada tahun 1958. Undang-undang ini memberikan dana bagi sekolah untuk meningkatkan program konseling sekolah. Konseling mulai melakukan diversifikasi ke area yang lebih luas diawali pada tahun 1970. Konseling mulai berkembang di luar sekolah seperti di lembaga-lembaga komunitas dan pusat-pusat kesehatan mental.[9]
3.      Era Tahun 1980-an
Dekade ini profesi konseling sudah mulai berkembang dengan munculnya standarisasi training dan sertifikasi. Pada tahun 1981 dibentuk the Council for Accreditation of Counseling and Related Educational Program (CACREP). CACREP berfungsi untuk melakukan standarisasi pada program pendidikan kondeling di tingkat master dan doktor pada bidang konseling sekolah, konseling komunitas, konseling kesehatan mental, konseling perkawinan dan keluarga, dan konseling di Perguruan Tinggi.
4.      Era Tahun 1990-an
Pada akhir ke-19-an, spesialis psikiatri telah mendapat tempat berdampingan dengan spesialis pengobatan lain. Dengan makin stabilnya posisi psikiatri dalam penanganan gangguan psikologis atau yang lebih dikenal dengan sakit mental, muncullah psikiatri sebagai spesialisasi baru. Spesialisasi baru ini dipelopori oleh Van Ellenberger Renterghem dan Van Eeden.[10]
Selama tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah permasalahan sosial mempengaruhi anak-anak yang pada gilirannya mengakselerasi pertumbuhan konseling SD. Isu-isu seperti penyalahgunaan obat, penganiayaan anak, pelecehan seksual dan pengabaian anak, plus meningkatnya minat dan atensi, bagi pencegahannya, mengarah kepada pemandatan konseling SD.[11]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimilki kearah perkembangan yang optimal sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan social.
Kegiatan bimbingan pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi perlu diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah dan profesional masih belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah Pancasila. Periode perkembangan bimbingan dan koseling terbagi atas : Sebelum Kemerdekaan, Dekade 40-an (Perjuangan), Dekade 50-an (Perjuangan), Dekade 60-an (Perintisan), Dekade 70-an (Penataan),dan Dekade 80-an (Pemantapan).
Evolusi profesi bimbingan dan konseling internasional dapat terlihat pada rangkaian perjalanan profesi ini yang terbagi atas: Era Tahun 1900-1909 (Era Perintisan, Era Tahun 1910-1970, Era Tahun 1980-an dan Era Tahun 1990-an.


DAFTAR PUSTAKA

Gibson. Robert L. dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Komalasari. Gantina dkk, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: PT. Indeks, 2011 Latipun, Psikologi Konseling, Malang: Penerbitan UMM, 2006
Walgito. Bimo, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta: Andi Offset, 2010



[2] Ibid,.
[4]Gantina Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011), hal. 44
[5]Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: Penerbitan UMM, 2006), hal. 23
[6]Bimo walgito, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), hal. 15
[7]Gantina Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011), hal. 38-39
[8]Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 13-14
[9]Gantina Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011), hal. 39
[10]Gantina Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011), hal. 40
[11]Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar