BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk yang berfikir, karena kecenderungannya dalam berfikir itu
manusia tak pernah luput dari berbagai permasalahan dan problem hidup. Sudah
menjadi keharusan dalam kehidupan social, bahwa kepedulian antar sesama harus
dijunjung tinggi. Dalam hal ini, bukan hanya bantuan materi yang dibutuhkan,
lebih dari itu, dorongan moril dan spiritual sangat berpengaruh dalam membantu
seseorang dalam mengoptimalkan kemampuan diri dan memberi solusi dari
masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam hal ini, tentunya diperlukan
metode-metode yang sistematis dan kiat-kiat kusus agar tujuan yang diharapkan
dapat mengena pada sasaran yang diharapkan.
Sebagai
calon guru dengan berbagai tanggung jawab yang diempunya, yaitu mendidik para
siswanya agar menjadi pribadi yang seutuhnya, sudah selayaknya mampu memahami
perkembangan peserta didiknya agar dapat memberikan materi yang efektif,
efisien, dan terarah, serta mampu mengoptimalkan potensi peserta didiknya agar
lebih dewasa dan mandiri dalam menghadapi problema hidupnya dan masa depan.
Maka,
materi bimbingan dan konseling sangat diperlukan bagi semua calon guru, karena
pada hakikatnya semua guru memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu membimbing
dan mengarahkan peserta didiknya walaupun bukan sebagai guru BK.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian bimbingan dan koseling ?
2.
Bagaimana sejarah bimbingan dan konseling ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bimbingan dan Konseling
a.
Bimbingan
Secara
etimologis, kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidance yang
mempunyai arti menunjukkan, membimbing, menuntun, ataupun membantu. Sesuai
dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan berarti suatu bantuan atau
tuntunan.
Prayitno
dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang
individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat
mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan
kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan
norma-norma yang berlaku.
Years’s
Book of Education 1995 menyatakan bimbingan adalah suatu
proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan
mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemamfaatan
social.
Dalam
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan
bahwa “;;Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam
rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau
beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan
pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan
menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan
berdasarkan norma-norma yang berlaku.[1]
b.
Konseling
Secara
etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa inggris “to counsel”
yang berarti memberi saran dan nasihat.
Rogers
(1942) menyatakan konseling adalah serangkai hubungan langsung dengan individu
yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.
Sedangkan
konseling menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:105) adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut
konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien)
yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
Berdasarkan
pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan
bahwa konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana
proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian
pertemuan langsung dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan klien;
dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik
terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu
mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimilki kearah
perkembangan yang optimal sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan
kemanfaatan sosial. [2]
B.
Sejarah Bimbingan dan Konseling
a.
Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Kegiatan
bimbingan pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan
bangsa Indonesia. Akan tetapi perlu diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah
dan profesional masih belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah
Pancasila. Berikut ini akan dibahas mengenai perkembangan usaha bimbingan dalam
pendidikan di Indonesia.
1. Sebelum Kemerdekaan
Masa
sebelum kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kehidupan
rakyat Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah (Pendidikan diselenggarakan
untuk kepentingan penjajah). Para siswa dididik untuk mengabdi untuk
kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini upaya bimbingan sudah tentu
diarahkan bagi perwujudan tujuan pendidikan masa itu yaitu menghasilkan manusia
pengabdi penjajah. Akan tetapi, rasa nasionalisme rakyat Indonesia ternyata
sangat tebal sehingga upaya penjajah banyak mengalami hambatan.
Rakyat
Indonesia yang cinta akan nasionalisme dan kemerdekaan berusaha untuk
memperjuangkan kemandirian bangsa Indonesia melalui pendidikan. Salah satu di
antaranya adalah Taman Siswa yang dipelopori oleh K.H. Dewantara yang dengan
gigih menanamkan nasionalisme di kalangan para siswanya. Dari sudut pandangan
bimbingan hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar bagi pelaksanaan bimbingan.
2.
Dekade 40-an (Perjuangan)
Dalam
bidang pendidikan, pada dekade ini lebih banyak ditandai dengan perjuangan
merealisasikan kemerdekaan melalui pendidikan. Masalah kebodohan dan
kerbelakangan merupakan masalah besar dan tantangan yang paling besar bagi
pendidikan pada saat itu. Tetapi yang lebih mendalam adalah mendidik bangsa
Indonesia agar memahami dirinya sebagai bangsa yang merdeka sesuai dengan jiwa
Pancasila dan UUD 1945. Hal ini pulalah yang menjadi fokus utama dalam
bimbingan pada saat itu.
3.
Dekade 50-an (Perjuangan)
Kegiatan
bimbingan pada masa dekade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan
pendidikan. Upaya membantu siswa dalam mencapai prestasi lebih banyak dilakukan
oleh guru di kelas atau di luar. Akan tetapi, pada hakikatnya bimbingan telah
tersirat dalam pendidikan dan benar-benar menghadapi tantangan dalam membantu
siswa di sekolah agar dapat berprestasi meskipun dalam situasi yang amat
darurat.
4.
Dekade 60-an (Perintisan)
Memasuki
dekade 60-an suasana politik kurang begitu menguntungkan dengan klimaksnya
pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Akan tetapi, dalam dekade ini pula lahir
Orde Baru tahun 1966, yang kemudian meluruskan dan menegakkan serta ini sudah
mulai mantap dalam merintis ke arah terwujudnya suatu sistem pendidikan
nasional.
Keadaan
di atas memberikan tantangan bagi keperluan layanan bimbingan dan konseling di
sekolah sebagai salah satu kelengkapan sistem. Di sinilah timbul tantangan
untuk mulai merintis pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang
terprogram dan terorganisasi dengan baik.
5.
Dekade 70-an (Penataan)
Kelahiran
orde baru telah banyak menyadarkan bangsa Indonesia akan kelemahan di masa
lampau dan kesediaan memperbaiki di masa yang akan datang melalui pembangunan.
Repelita pertama mulai dicanangkan dilaksanakan dalam awal dekade ini, dan
dilanjutkan dalam dekade-dekade selanjutnya. Pembangunan dalam bidang
pendidikan merupakan salah satu penunjang pembangunan nasional. Keadaan
tersebut memberikan tantangan dan peluang besar untuk upaya penataan bimbingan
baik dalam aspek konseptual maupun operasional.
6.
Dekade 80-an (Pemantapan)
Setelah
melalui penataan dalam dekade 70-an, maka dalam dekade 80-an ini bimbingan
diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk menuju kepada
perwujudan bimbingan yang profesional. Dengan demikian, maka upaya-upaya dalam
dekade 80-an lebih mengarah kepada profesionalisasi yang lebih mantap.[3]
Pada
saat ini, profesi konselor secara legal formal telah diakui dalam sistem
pendidikan nasional. Konselor sekolah atau guru bimbingan dan konseling
merupakan profesi yang sudah diakui keberadaannya di sekolah. Hal ini dapat
dilihat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008
tentang Guru pada pasal 15 yang mengatakan bahwa guru bimbingan dan konseling
atau konselor adalah guru pemegang sertifikat pendidikan.[4]
b.
Sejarah Bimbingan dan Konseling internasional
Latar
belakang perkembangan profesi konseling tidak dapat dipisahkan dari dua jalur
penanganan terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Barat, yaitu tradisi
gangguan mental dan penanganan masalah-masalah pendidikan dan pekerjaan di
sekolah.[5]
Evolusi
profesi konseling dapat terlihat pada rangkaian perjalanan profesi ini yang
disusun secara kronologis sebagai berikut:
1. Era
Tahun 1900-1909 (Era Perintisan)
Tiga
tokoh utama pada periode ini adalah Jesse B. Davis, Frank Parsons, dan Clifford
Beers. Davis adalah orang pertama yang mengembangkan program bimbingan yang
sistematis di sekolah-sekolah. Pada tahun 1907, sebagai pejabat yang
bertanggung jawab pada the Grand Rapids (Michigan) school system, ia
menyarankan agar guru kelas yang mengajar English Composition untuk
mengajar bimbingan satu kali seminggu yang bertujuan untuk mengembangkan
karakter dan mencegah terjadinya masalah. Sementara itu, Frank Parsons di
Boston melakukan hal yang hampir sama dengan Davis. Ia memfokuskan pada program
pengembangan dan pencegahan. Ia dikenal karena mendirikan Boston’s
Vocational Bureau pada tahun 1908. Berdirinya biro ini mempresentasikan
langkah maju diinstitusionalisasikannya bimbingan karier (vocational
guidance).
Pada
tahun yang sama ketika Frank Parsons mendirikan Vocational Bureau
(1908), William Heyle juga mendirikan Community Psychiatric Clinic untuk
pertama kalinya. Selanjutnya, The Juvenille Psychopathic institute
didirikan untuk memberi bantuan kepada para pemuda di Chicago yang mempunyai
masalah. Dalam keadaan tersebut terlibat pula para psikolog. Tentu saja tidak
mungkin berbicara soal kesehatan mental tanpa melibatkan orang-orang yang cukup
terkenal, seperti Sigmund Freud dan Joseph Breuer.[6]
2.
Era Tahun 1910-1970
Pada
era ini konseling mulai diinstitusionalisasikan dengan didirikannya the
National Vocational Guidance Association (NVGA) pada tahun 1913. Selain
itu, pemerintah Amerika Serikat mulai memanfaatkan pelayanan bimbingan untuk
membantu veteran perang.[7]
Istilah bimbingan (guidance) ini
kemudian menjadi label populer bagi gerakan konseling di sekolah-sekolah selama
hampir 50 tahunan. Program bimbingan yang terorganisasikan mulai muncul dengan
frekuensi tinggi di jenjang SMP sejak 1920-an, dan lebih intensif lagi di
jenjang SMA dengan pengangkatan guru BK yang khusus dipisahkan untuk siswa
laki-laki dan siswa perempuan. Titik inilah era dimulainya pemfungsian
disiplin, kelengkapan daftar hadir selama satu tahun ajaran dan tanggung jawab
administrasi lainnya. Akibatnya banyak program pendidikan dekade ini
menitikberatkan pada upaya membantu siswa-siswa yang mengalami kesulitan
akademis atau pribadi dengan mengirimkan mereka ke guru BK untuk mengubah
perilaku atau memperbaiki kelemahan.
Selain
jenjang SMP dan SMA, gerakan konseling untuk SD tampaknya juga dimulai di akhir
dekade 1920-an hingga awal dekade 1930-an, dipicu oleh tulisan-tulisan dan
kerja keras William Burnham yang menekankan peran guru untuk memajukan
kesehatan mental anak yang memang banyak diabaikan diperiode tersebut.[8]
Pada
dekade 1940-an ditandai munculnya teori konseling Non-Directive yang
dipelopori oleh Carl Rogers. Ia mempublikasikan buku yang berjudul Counseling
and Psychotherapy pada tahun 1942. Pada tahun 1950-an muncul pula berbagai
organisasi konseling yaitu the American Personnel and Guidance Association
(APGA). Selanjutnya disahkannya the National Defense Education Act
(NDEA) pada tahun 1958. Undang-undang ini memberikan dana bagi sekolah
untuk meningkatkan program konseling sekolah. Konseling mulai melakukan
diversifikasi ke area yang lebih luas diawali pada tahun 1970. Konseling mulai
berkembang di luar sekolah seperti di lembaga-lembaga komunitas dan pusat-pusat
kesehatan mental.[9]
3.
Era Tahun 1980-an
Dekade
ini profesi konseling sudah mulai berkembang dengan munculnya standarisasi
training dan sertifikasi. Pada tahun 1981 dibentuk the Council for
Accreditation of Counseling and Related Educational Program (CACREP).
CACREP berfungsi untuk melakukan standarisasi pada program pendidikan kondeling
di tingkat master dan doktor pada bidang konseling sekolah, konseling
komunitas, konseling kesehatan mental, konseling perkawinan dan keluarga, dan
konseling di Perguruan Tinggi.
4.
Era Tahun 1990-an
Pada
akhir ke-19-an, spesialis psikiatri telah mendapat tempat berdampingan dengan
spesialis pengobatan lain. Dengan makin stabilnya posisi psikiatri dalam
penanganan gangguan psikologis atau yang lebih dikenal dengan sakit mental,
muncullah psikiatri sebagai spesialisasi baru. Spesialisasi baru ini dipelopori
oleh Van Ellenberger Renterghem dan Van Eeden.[10]
Selama
tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah permasalahan sosial mempengaruhi anak-anak
yang pada gilirannya mengakselerasi pertumbuhan konseling SD. Isu-isu seperti
penyalahgunaan obat, penganiayaan anak, pelecehan seksual dan pengabaian anak,
plus meningkatnya minat dan atensi, bagi pencegahannya, mengarah kepada
pemandatan konseling SD.[11]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bimbingan
pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang
ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri
sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan,
memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan
tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Konseling
merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian
bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung
dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan klien; dengan tujuan agar
klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu
memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu mengarahkan dirinya untuk
mengembangkan potensi yang dimilki kearah perkembangan yang optimal sehingga ia
dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan social.
Kegiatan
bimbingan pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan
bangsa Indonesia. Akan tetapi perlu diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah
dan profesional masih belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah
Pancasila. Periode perkembangan bimbingan dan koseling terbagi atas : Sebelum
Kemerdekaan, Dekade 40-an (Perjuangan), Dekade 50-an (Perjuangan), Dekade 60-an
(Perintisan), Dekade 70-an (Penataan),dan Dekade 80-an (Pemantapan).
Evolusi
profesi bimbingan dan konseling internasional dapat terlihat pada rangkaian
perjalanan profesi ini yang terbagi atas: Era Tahun 1900-1909 (Era Perintisan,
Era Tahun 1910-1970, Era Tahun 1980-an dan Era Tahun 1990-an.
DAFTAR
PUSTAKA
Gibson.
Robert L. dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010
Komalasari.
Gantina dkk, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: PT. Indeks, 2011 Latipun,
Psikologi Konseling, Malang: Penerbitan UMM, 2006
Walgito.
Bimo, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta: Andi Offset, 2010
[1] http://butterfly31girl.blogspot.com/2012/05/sejarah-perkembangan-bimbingan-dan.html,
diakses pada tanggal 20 April 2015.
[3] http://www.sarjanaku.com/2011/01/sejarah-bimbingan-konseling.html.
diakses tanggal 20 April 2015.
[4]Gantina
Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011),
hal. 44
[5]Latipun, Psikologi
Konseling, (Malang: Penerbitan UMM, 2006), hal. 23
[6]Bimo walgito, Bimbingan
dan Konseling, (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), hal. 15
[7]Gantina
Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011),
hal. 38-39
[8]Robert L. Gibson
dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hal. 13-14
[9]Gantina
Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011),
hal. 39
[10]Gantina
Komalasari dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011),
hal. 40
[11]Robert
L. Gibson dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hal. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar