BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Nabi
Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin
tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6
Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban
amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke
tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak
seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat
Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan
membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur
relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat.
Indoneseia
dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan
berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada
beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal
maupun konflik vertical
Hal
tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok
etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom
yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh
pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung
rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau
menghilangkan nyawa.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Jelaskan makna
penegakan hukum !
b.
Jelaskan tafsir
surat Al Maidah ayat 45, 47, 49 dan 50 dalam penegakan hukum !
c.
Jelaskan tafsir
surat An Nisa ayat 58 dalam penegakan hukum !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Penegakan Hukum
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau
dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek
dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam
arti luas, proses penegakan hukum itu
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi
subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian
penegakan hukum itu dapat pula ditinjau
dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya.
Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan
hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal
maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit,
penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan
peraturan yang formal dan tertulis sajaDengan
uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud
dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang
sempit maupun dalam arti materiel yang
luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik
oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang
penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri
batas-batasnya. Apakah kita akan membahas
keseluruhan aspek dan dimensi penegakan
hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun
objeknya atau kita batasi hanya membahas
hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah
aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini
memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran
saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan
tema penegakan hukum itu.[1]
B.
Tafsir
Surat Al Maidah ayat 45, 47, 49 dan 50 Dalam Penegakan Hukum
$oYö;tFx.ur
öNÍkön=tã
!$pkÏù
¨br&
}§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/
ú÷üyèø9$#ur
Èû÷üyèø9$$Î/
y#RF{$#ur
É#RF{$$Î/
cèW{$#ur
ÈbèW{$$Î/
£`Åb¡9$#ur
Çd`Åb¡9$$Î/
yyrãàfø9$#ur
ÒÉ$|ÁÏ%
4
`yJsù
X£|Ás?
¾ÏmÎ/
uqßgsù
×ou$¤ÿ2
¼ã&©!
4
`tBur
óO©9
Nà6øts
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqßJÎ=»©à9$#
ÇÍÎÈ
Artinya: “Dan Kami
telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” QS. Al Maidah : 45
Argumentasi dari Abu Hanifah RA dengan
keumuman ayat ini sebagai dalil hukuman mati bagi orang Islam yang membunuh non
muslim, dan subsitansi ayat didalamnya mengisyaratkan bahwa orang kafir tidak
termasuk dalam keumuman ayat sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Sudah dimaklumi bahwa orang kafir tidak
termasuk orang-orang yang bersedekah, dimana sedekah mereka merupakan kafarat
bagi mereka, karena kekufuran itu adalah keburukan yang kebaikan tidak akan
memberikan mamfaat bersamanya. Ismail Al Qadhi telah meyingung hal ini dalam
Ahkam Alqur’an, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari, dan apa yang
telah disebutkan Ismail Al Qadhi, bahwa ayat tersebut juga menunjukkan hamba
tidak termasuk didalamnya, bedasarkan bahwa hamba tidak sah memberikan sedekah
dengan lukanya, karena itu adalah hak majikannya yang tidak bias diterima,
karena ada ulama yang mengatakan: Sesungguhnya perkara-perkara yang berkaitan
dengan anggota badan seorang hamba, seperti perkara qishas, ia boleh memberikan
maaf tanpa restu majikannya maka bedasarkan hal tersebut, tidak ada halangan
baginya untuk bersedekah dengan lukanya.
Selain itu bedasarkan pendapat yang
mengatakan “ Maka melepaskan hak itu menjadi penembus dosa bagi” bahwa
bersedekah dengan luka akibat jinayah merupakan kafarat bagi pelaku kriminalitas
bukan korbannya. Maka tidak ada halangan pula untuk memberikan argumentasi
tersebut dengan dalil ayat ini, karena Allah SWT tidak menyebutkan bahwa orang
kafir bias besedekah, sebab orang kafir tidak bersedekah karena kekafirannya,
dan semua yang bathi dan tidak berfaidah tidak Allah sebutkan dalam konteks
penetapan, padahal pendapat ini lemah dalam hal makna ayat.
Mayoritas Ulama dari kalangan sahabat
dan sesudah mereka mengatakan, bahwa maknanya adalah kafarat bagi yang
bersedekah,dan pendapat ini adalah yang paling moderat. Karena kata ganti
didalamnya kembali kepada subjek yang disebutkan, dan itu bagi orang yang beriman secara mutlak, tidak
bagi orang kafir.[2]
ö/ä3ósuø9ur
ã@÷dr&
È@ÅgUM}$#
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
ÏmÏù
4
`tBur
óO©9
Nà6øts
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
cqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÍÐÈ
Artinya: “Dan hendaklah
orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” QS. Al
Maidah:47
Allah SWT mewajibkan kepada umat Kristen
agar memutuskan hukum dengan apa yang sudah diturunkan Allah SWT dalam injil.
Injil diturunkan kepada Isa as agar hukum-hukum yang dikandungnya ditegakkan,
larangan-larangan yang ada didalamnya dijauhi, dan perintah Allah SWT
didalamnya dipatuhi.
Akan tetapi, barang siapa tidak berhukum
kepada perintah dan syari’at Allah SWT dia telah keluat dari ketaatan
kepada-Nya SWT dan mengganti syari’at-Nya dengan hukum yang lain. Oleh Karena
itu, barang siapa tidak memutuskan sesuatu perkara dengan apa yang diturunkan
Alla SWT berarti ia kafir, zalim, dan fasik. Dia keluar dari agama, serta
menganiaya dirinya sendiri dan orang lain karena telah mengganti syari’at Allah
dengan syari’at makhluk.[3]
Ayat
ini dan yang sebelumnya memberikan kejelasan yang nyata sekali , bahawa di dalam
kekuasaan Islam , orang - orang Dzimmi Yahudi dan Nasrani diperintahkan
menjalankan hukum menurut kitab mereka . Padahal isi Hukum Tuhan dalam semua
kitab suci , baik Taurat dan Injil , sampai kepada al - Quran dasarnya ialah
satu , iaitu Hukum Tuhan , Di zaman hidupnya Al Masih , oleh kerana
kekuasaanyya adalah pada bangsa Romawi dan kaum Yahudi dalam jajahan belumlah
boleh dapat menjalankan Hukum Tuhan dari Taurat dengan tegas . Beliau hanya
berkata : " Berikanlah hak Allah kepda Allah dan Hak Kaisar kepada kaisar
. "
Malahan
seketika orang - orang Yahudi datang kepada beliau membawa seorang perempuan
yang mereka tuduh berzina , supaya dijalankan kepadanya Hukum Taurat . Beliau
bertanya bahawa adakah di antara mereka itu orang - orang yang tidak pernah
berdosa ? Siapa orang - orang yang tidak pernah berdosa itulah yag melontar
perempuan itu dengan batu sampai mati . Maka berpandang - pandanganlah satu
dengan yang lain , dan tidak ada seorang juapun yang berani menjatuhkan hukum
kepada perempuan itu , sebab merasa bahawadiri masing - masing tidak sunyi
daripada bersalah . Dengan sikap Al -Masih yang demikian , bukan bererti bahawa
beliau merubah Hukum Taurat , melainkan menyuruh mereka terlebih dahulu
membersihkan jiwa sendiri sebelum menuduh-nuduh orang lain . dan yang
lebih beliau dari pihak penguasa Romawi . Sebab hak menghukum mesti dijalankan
dalam kekuasaan pemerintahan Romawi .[4]
Èbr&ur
Nä3ôm$#
NæhuZ÷t/
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
wur
ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr&
öNèdöx÷n$#ur
br&
qãZÏFøÿt
.`tã
ÇÙ÷èt/
!$tB
tAtRr&
ª!$#
y7øs9Î)
(
bÎ*sù
(#öq©9uqs?
öNn=÷æ$$sù
$uK¯Rr&
ßÌã
ª!$#
br&
Nåkz:ÅÁã
ÇÙ÷èt7Î/
öNÍkÍ5qçRè
3
¨bÎ)ur
#ZÏWx.
z`ÏiB
Ĩ$¨Z9$#
tbqà)Å¡»xÿs9
ÇÍÒÈ
Artinya: “Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.QS. Al Maidah:49
Dalam Tafsir Fil Zilalil Quran, dijelaskan bahawa
ayat Al Maidah:49 diatas adalah peringatan yang cukup keras tentang fitnah yang
wajib diwaspadai.
Fitnah apa? Yaitu fitnah golongan yang mengangkat
keinginan atau hawa nafsu mereka sebagai hukum dan meninggalkan syariat dan
hukum Allah.
“Hendaklah kamu memutuskan” - yakni bererti perlu
meletakkan batas atau margin yang cukup jelas antara syariat Islam dan hukum
Jahiliyah. Tidak boleh ada percampuran antara keduanya. Jika yang dipilih itu
Islam, maka laksanakanlah ia sepenuhnya tanpa ada lagi karat-karat jahiliyah,
dan jika masih bergelumang dengan jahiliyah, beerti ia bukan Islam yang
sebenarnya.
Golongan yang menginginkan sesuatu menurut hawa
nafsu mereka, sentiasa menggunakan ayat-ayat Allah untuk mengaburi yang lain
dan menegakkan pendirian mereka. Kerana itu peringatan ini Allah nyatakan
dengan cukup jelas dan tegas, berwaspadalah dengan fitnah-fitnah mereka!
Seperti ayat diatas “Jangan sampai mereka memperdayakan engkau dengan
sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu”.
Jika mereka tetap berpaling dari hukum Allah dan
meneruskan kejahilan itu, maka engkau tidak akan bertanggungjawab atas tindakan
mereka itu.
Jangan sesekali tindakan mereka itu membuatkan
engkau berpaling juga dan teruslah berpegang teguh dan utuh dengan syariat dan
hukum Allah.
Kerana apa? Kerana mereka berpaling dan menyimpang
sebab Allah mahu menghinakan mereka atas sebahagian dosa-dosa yang mereka
lakukan.
Dan sudah menjadi tabiat manusia, “Dan sungguh,
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”, kerana itu akan ada mereka
yang menyimpang dan keluar dari syariat Allah. Namun kerana perwatakan mereka ini, tiadalah
dosa untuk engkau, dan tiadalah dosa bagi syariat.[5]
zNõ3ßssùr&
Ïp¨Î=Îg»yfø9$#
tbqäóö7t
4
ô`tBur
ß`|¡ômr&
z`ÏB
«!$#
$VJõ3ãm
5Qöqs)Ïj9
tbqãZÏ%qã
ÇÎÉÈ
Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah
yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. QS. Al Maidah:50
Maha
suci Allah. Mereka menghendaki hukum jahiliyah, hawa nafsu, dan kesesatan, dan
menolak hukum Allah SWT yan semuanya adalah benar, cahaya, dan keadilan. Mereka
menginginkan hokum makhluk yang serba tidak sempurna, alpa dan bodoh, serta
meninggalkan hokum sang pencipta SWT Yang Maha Adil, Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui segala sesuatu. Mereka itu tidak membenarkan, tidak beriman dan
tidak menghendaki kebaikan tidak yang lebih baik dari hukum Allah SWT dalam
keadilan, penjelasan, hikmah, maslahat dan kebaikan dunia dan akhirat. Namun,
hokum yang bersumber dari Allah SWT ini dipatuhi dan disukai hanya oleh
orang-orang yang kokoh imannya, mencintai Allah dan menaati-Nya.[6]
C.
Tafsir
Surat An Nisa ayat 58 Dalam Penegakan Hukum
*
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur
OçFôJs3ym
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br&
(#qßJä3øtrB
ÉAôyèø9$$Î/
4
¨bÎ)
©!$#
$KÏèÏR
/ä3ÝàÏèt
ÿ¾ÏmÎ/
3
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$JèÏÿx
#ZÅÁt/
ÇÎÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” QS. An Nisa:58
Wahai orang-orang yang beriman, Allah
SWT menyuruh kalian agar senantiasa menyampaikan amanah kepada orang yang
berhak menerimanya. Adapun amanah yang harus kalian tunaikan untuk Alla SWT
adalah melaksanakan perintah-Nya dan mejauhi larangan-Nya. Dan amanah yang
harus kalian pelihara diantara sesame kalian diantaranya adalah meyampaikan titipan
dan hak-hak kepemilikan harta, melaksanakan akad, menapati janji, tidak
membatalkan sumpah.
Kemudian, bila kita kalian ditunjuk atau
dipercaya oleh sesama kalian untuk memutuskan sebuah perkara, melerai sebuah
perseteruan, atau mendamaikan antara beberapa hamba yang sedang berpekara maka
selesaikanlah dengan adil dan bijaksana. Dan hendaklah kalian senantiasa
bertakwa kepada Allah SWT ketika mengurusi atau menjalankan semua itu janganlah
kalian berbuat zalim, menipu dan berpaling dari kebenaran. Demi Allah SWT
sesungguhnya ini merupakan suatu wasiat besar dan nasihat yang sangat agung.
Yakni, karena nasihat ini mengandung kebaikan untuk didunia dan dan akhirat,
berisi petunjuk kebenaran, dan yang meyampaikanya adalah Allah SWT. Maka dari itu, wahai orang-orang yang beriman
kepada Allah SWT dan membenarkan Rasul-Nya hendaklah kalian menaati segala
perintah dan larangan Allah, menaati Raul-Nya dengan mengikuti sunnah-sunnahnya
dan menegakkan syari’at-Nya secara lahir dan batin.
Apabila kalian berselisih pendapat dalam
satu masalah maka tempat merujuk yang tepat adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Artinya, bila kalian tengah berselisih maka berpedomanlah pada syari’at Allah
dan ridhalah pada hokum Allah dan Rasulnya. Sebab, didalam keduanya itu kalian
akan mendapatkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran yang tiada bandingannya.[7]
Sebagian
mufassir lain berpendapat, pihak yang diseru ayat ini bukan hanya penguasa,
namun seluruh mukallaf tanpa terkecuali. Pendapat ini dipilih kebanyakan
mufassir seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Abu Hayyan al-Andalusi,
asy-Syaukani, al-Baidhawi, al-Jashshash, Ibnu Athiyah, al-Jazairi,
al-Samarqandi, dan al-Ajili. Kendati penguasa merupakan pihak yang paling utama
untuk diseru, hal itu tidak bisa membatasi seruan ini hanya untuk mereka.
Sebab, dhamîr kum (kalian) dalam ayat ini bersifat umum sehingga berlaku untuk
seluruh mukallaf. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang membatasinya.
Seluruh
mukallaf itu diperintahkan an tuaddû al-amânât (menyampaikan amanat). Kata
al-amânât (jamak dari kata al-amânah) merupakan bentuk mashdar yang bermakna
maf‘ûl. Al-Jazairi menuturkan, amanah adalah segala yang dipercayakan kepada
seseorang, baik berupa perkataan, perbuatan, atau harta benda. Al-Biqa’i
memaknainya sebagai semua kewajiban yang harus Anda tunaikan terhadap orang
lain.
Amanah
yang diperintahkan ayat ini meliputi semua jenis amanah. Sebab, kata al-amânât
merupakan kata benda jamak yang berbentuk ma‘rifah (ditandai dengan huruf
al-alif wa al-lâm di depannya). Secara bahasa, bentuk kata demikian menunjukkan
makna umum.
Fakhruddin
ar-Razi menuturkan, jenis amanah yang wajib ditunaikan itu menyangkut seluruh
interaksi manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya, sesama hamba, maupun
dengan dirinya sendiri. Menunaikan amanah Allah Swt. adalah dengan cara
mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Ibnu Mas’ud
berkata, “Amanah itu wajib dalam segala sesuatu, dalam wudu, janabah, shalat,
zakat, puasa, dan haji.” Amanah lisan adalah dengan tidak menggunakannya untuk berdusta,
ghîbah (menggunjing), namîmah (mengadu domba), kufur, bid‘ah, perkataan keji,
dan sebagainya. Amanah mata adalah dengan tidak menggunakannya untuk memandang
yang haram. Amanah pendengaran adalah dengan tidak menggunakannya untuk
mendengarkan suara yang dilarang, keji, dusta, dan sebagainya. Demikian pula
dengan seluruh anggota badan yang lainnya.
Adapun
amanah kepada sesama manusia meliputi semua hak orang lain yang wajib
ditunaikan, termasuk di dalamnya mengembalikan barang titipan, tidak mengurangi
timbangan dan takaran, dan tidak menyebarkan aib orang lain; tercakup pula
keadilan umara terhadap rakyatnya; juga keadilan ulama terhadap orang awam,
yakni dengan tidak membuat mereka terjerat ta‘âshub yang batil, namun
menjelaskan kepada mereka keyakinan dan amal yang bermanfaat bagi mereka, baik
di dunia maupun di akhirat.
Amanah
terhadap diri sendiri adalah dengan tidak memilihkan segala sesuatu kecuali
yang paling bermanfaat dan layak bagi dirinya, baik di dunia maupun akhirat.
Tidak melakukan suatu tindakan atas dasar syahwat dan murka yang dapat
membahayakan dirinya di akhirat.
Frasa
ilâ ahlihâ mengandung makna bahwa amanah itu harus disampaikan kepada
pemiliknya atau wakilnya sebagai pihak yang menggantikannya dan tidak boleh
diberikan kepada selainnya. Apabila diberikan kepada bukan pemiliknya, maka
tidak dianggap telah menunaikan amanah. Kata ahlihâ tersebut juga memberikan
makna umum, baik pemilik amanah itu orang baik maupun orang fâjir.
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman: Wa idzâ hakamtum bayna an-nâs an tahkumû bi al-‘adl
([Allah menyuruh kalian]—jika menetapkan hukum di antara manusia—untuk
menetapkan hukum dengan adil). Menurut Muhammad bin Kaab dan Zaid bin Aslam,
ayat ini ditujukan kepada umara atau penguasa.16 Dalam menetapkan keputusan hukum,
mereka diperintahkan untuk bertindak adil.
Keputusan
yang adil itu bukan hanya ditetapkan bagi Muslim, namun juga non-Muslim. Sebab,
kata an-nâs dalam frasa ini menunjukkan makna umum, meliputi seluruh manusia.
Karena itu, ayat ini juga menjadi dalil tentang wajibnya penerapan hukum
syariah kepada kafir ahludz al-dzimmah—selama tidak ada dalil yang
men-takhshîsh bahwa hukum syariah itu hanya ditujukan untuk kaum Muslim.
Oleh
al-Baghawi, kata al-‘adl ditafsirkan dengan al-qisth.17 Menurut al-Khazin, makna
awal kata al-‘adl adalah al-musâwah fî kulli syay’ (setara dalam segala
sesuatu). Karena itu, setiap perkara yang keluar dari kezaliman dan permusuhan
disebut adil.18 Realitas itu bisa terjadi jika hukum yang digunakan untuk
memutuskannya adalah hukum yang adil[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hukum
ditetapkan supaya dimuka bumi ini tidak ada kezaliman, penganiyaan dan
pembunuhan agar jiwa dan raga manusia terlindungi dan manusia aman dari
permusuhan saudaranya terhadapnya.
Allah
SWT mewajibkan kepada umat Kristen agar memutuskan hukum dengan apa yang sudah
diturunkan Allah SWT dalam injil. Akan tetapi, barang siapa tidak berhukum
kepada perintah dan syari’at Allah SWT dia telah keluat dari ketaatan
kepada-Nya SWT dan mengganti syari’at-Nya dengan hukum yang lain.
Allah
SWT menyuruh kalian agar senantiasa menyampaikan amanah kepada orang yang
berhak menerimanya. Apabila kalian berselisih pendapat dalam satu masalah maka
tempat merujuk yang tepat adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
DAFTAR PUSTAKA
al Qarni. ‘Aidh(2007),Tafsir Muyassar, Jakarta:PT.Qisthi Press
Amirsyafiq.
Muhamad(2011),Tafsir Al Azhar, Surah Al
Maidah Ayat 44 Hingga 47, http://worldofaskara.blogspot.com/2011/11/tafsir-al-azhar-surah-al-maidah-ayat-44.html
Asy Syanqthi. Syaikh(2007),Tafsir Adhwa’ul Bayan, Jakarta:Pustaka Azzam
Putra.
Heni(2013), Bertindak Amanah dan Adil,
http://heniputra.blogspot.com/2013/06/bertindak-amanah-dan-adil-qs-nisa-4-58.html
Saputri.
Yeni(2013),Penegakan Hukum, http://yenisaputri080893.blogspot.com/2013/08/makalah-penegakan-hukum.html,
Zainordin. Ahmad Ramdan(2012), Bencana
Jahiliayah, http://ummunuman.blogspot.com/2012/11/tafsir-al-maidah-49-50.html
[1] Yeni Saputri,Penegakan Hukum, http://yenisaputri080893.blogspot.com/2013/08/makalah-penegakan-hukum.html,
diakses pada tanggal 29 Agustus 2013
[4] Muhamad Amirsyafiq,Tafsir Al Azhar, Surah Al Maidah Ayat 44
Hingga 47,
http://worldofaskara.blogspot.com/2011/11/tafsir-al-azhar-surah-al-maidah-ayat-44.html,
diakses pada tanggal 12 November 2011
[5]
Ahmad
Ramdan Zainordin, Bencana Jahiliayah,
http://ummunuman.blogspot.com/2012/11/tafsir-al-maidah-49-50.html,
diakses pada tanggal 7 November 2012
[8] Heni Putra,Bertindak
Amanah dan Adil, http://heniputra.blogspot.com/2013/06/bertindak-amanah-dan-adil-qs-nisa-4-58.html,
diakses pada tanggal 12 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar