Minggu, 08 Maret 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat.
Indoneseia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertical
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. 
B.            Rumusan Masalah
a.              Jelaskan makna penegakan hukum !
b.             Jelaskan tafsir surat Al Maidah ayat 45, 47, 49 dan 50 dalam penegakan hukum !
c.              Jelaskan tafsir surat An Nisa ayat 58 dalam penegakan hukum !


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.
Ditinjau dari  sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek  yang luas  dan  dapat  pula  diartikan  sebagai  upaya  penegakan  hukum  oleh  subjek  dalam  arti yang  terbatas  atau  sempit.  Dalam  arti  luas,  proses  penegakan  hukum  itu  melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai  upaya  aparatur  penegakan  hukum  tertentu  untuk  menjamin  dan  memastikan bahwa  suatu  aturan  hukum  berjalan  sebagaimana  seharusnya.  Dalam  memastikan tegaknya  hukum  itu,  apabila  diperlukan,  aparatur  penegak  hukum  itu  diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian  penegakan  hukum  itu  dapat pula  ditinjau  dari  sudut  objeknya,  yaitu dari segi hukumnya.  Dalam  hal ini, pengertiannya juga mencakup  makna  yang luas dan sempit.  Dalam  arti  luas,  penegakan  hukum  itu  mencakup pula  nilai-nilai  keadilan  yang terkandung  di  dalamnya  bunyi  aturan  formal  maupun  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup dalam  masyarakat.  Tetapi,  dalam  arti  sempit,  penegakan  hukum  itu  hanya  menyangkut penegakan  peraturan  yang  formal  dan  tertulis  sajaDengan uraian di atas  jelaslah kiranya  bahwa  yang  dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam  arti  formil  yang  sempit  maupun  dalam  arti  materiel  yang  luas,  sebagai  pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh  aparatur  penegakan hukum  yang  resmi  diberi  tugas  dan  kewenangan oleh undang-undang untuk  menjamin berfungsinya  norma-norma hukum  yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang  penegakan hukum dapat  kita  tentukan  sendiri batas-batasnya.  Apakah  kita  akan membahas  keseluruhan  aspek  dan  dimensi  penegakan  hukum  itu,  baik  dari  segi subjeknya  maupun  objeknya  atau  kita  batasi  hanya  membahas  hal-hal  tertentu  saja, misalnya,  hanya  menelaah  aspek-aspek  subjektifnya  saja.  Makalah  ini  memang  sengaja dibuat  untuk  memberikan  gambaran  saja  mengenai  keseluruhan  aspek  yang  terkait dengan tema penegakan hukum itu.[1]
B.            Tafsir Surat Al Maidah ayat 45, 47, 49 dan 50 Dalam Penegakan Hukum
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” QS. Al Maidah : 45
Argumentasi dari Abu Hanifah RA dengan keumuman ayat ini sebagai dalil hukuman mati bagi orang Islam yang membunuh non muslim, dan subsitansi ayat didalamnya mengisyaratkan bahwa orang kafir tidak termasuk dalam keumuman ayat sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Sudah dimaklumi bahwa orang kafir tidak termasuk orang-orang yang bersedekah, dimana sedekah mereka merupakan kafarat bagi mereka, karena kekufuran itu adalah keburukan yang kebaikan tidak akan memberikan mamfaat bersamanya. Ismail Al Qadhi telah meyingung hal ini dalam Ahkam Alqur’an, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fath Al Bari, dan apa yang telah disebutkan Ismail Al Qadhi, bahwa ayat tersebut juga menunjukkan hamba tidak termasuk didalamnya, bedasarkan bahwa hamba tidak sah memberikan sedekah dengan lukanya, karena itu adalah hak majikannya yang tidak bias diterima, karena ada ulama yang mengatakan: Sesungguhnya perkara-perkara yang berkaitan dengan anggota badan seorang hamba, seperti perkara qishas, ia boleh memberikan maaf tanpa restu majikannya maka bedasarkan hal tersebut, tidak ada halangan baginya untuk bersedekah dengan lukanya.
Selain itu bedasarkan pendapat yang mengatakan “ Maka melepaskan hak itu menjadi penembus dosa bagi” bahwa bersedekah dengan luka akibat jinayah merupakan kafarat bagi pelaku kriminalitas bukan korbannya. Maka tidak ada halangan pula untuk memberikan argumentasi tersebut dengan dalil ayat ini, karena Allah SWT tidak menyebutkan bahwa orang kafir bias besedekah, sebab orang kafir tidak bersedekah karena kekafirannya, dan semua yang bathi dan tidak berfaidah tidak Allah sebutkan dalam konteks penetapan, padahal pendapat ini lemah dalam hal makna ayat.
Mayoritas Ulama dari kalangan sahabat dan sesudah mereka mengatakan, bahwa maknanya adalah kafarat bagi yang bersedekah,dan pendapat ini adalah yang paling moderat. Karena kata ganti didalamnya kembali kepada subjek yang disebutkan, dan itu  bagi orang yang beriman secara mutlak, tidak bagi orang kafir.[2]
ö/ä3ósuø9ur ã@÷dr& È@ŠÅgUM}$# !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ÏmŠÏù 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÐÈ  
Artinya: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” QS. Al Maidah:47
Allah SWT mewajibkan kepada umat Kristen agar memutuskan hukum dengan apa yang sudah diturunkan Allah SWT dalam injil. Injil diturunkan kepada Isa as agar hukum-hukum yang dikandungnya ditegakkan, larangan-larangan yang ada didalamnya dijauhi, dan perintah Allah SWT didalamnya dipatuhi.
Akan tetapi, barang siapa tidak berhukum kepada perintah dan syari’at Allah SWT dia telah keluat dari ketaatan kepada-Nya SWT dan mengganti syari’at-Nya dengan hukum yang lain. Oleh Karena itu, barang siapa tidak memutuskan sesuatu perkara dengan apa yang diturunkan Alla SWT berarti ia kafir, zalim, dan fasik. Dia keluar dari agama, serta menganiaya dirinya sendiri dan orang lain karena telah mengganti syari’at Allah dengan syari’at makhluk.[3]
Ayat ini dan yang sebelumnya memberikan kejelasan yang nyata sekali , bahawa di dalam kekuasaan Islam , orang - orang Dzimmi Yahudi dan Nasrani diperintahkan menjalankan hukum menurut kitab mereka . Padahal isi Hukum Tuhan dalam semua kitab suci , baik Taurat dan Injil , sampai kepada al - Quran dasarnya ialah satu , iaitu Hukum Tuhan , Di zaman hidupnya Al Masih , oleh kerana kekuasaanyya adalah pada bangsa Romawi dan kaum Yahudi dalam jajahan belumlah boleh dapat menjalankan Hukum Tuhan dari Taurat dengan tegas . Beliau hanya berkata : " Berikanlah hak Allah kepda Allah dan Hak Kaisar kepada kaisar . "
Malahan seketika orang - orang Yahudi datang kepada beliau membawa seorang perempuan yang mereka tuduh berzina , supaya dijalankan kepadanya Hukum Taurat . Beliau bertanya bahawa adakah di antara mereka itu orang - orang yang tidak pernah berdosa ? Siapa orang - orang yang tidak pernah berdosa itulah yag melontar perempuan itu dengan batu sampai mati . Maka berpandang - pandanganlah satu dengan yang lain , dan tidak ada seorang juapun yang berani menjatuhkan hukum kepada perempuan itu , sebab merasa bahawadiri masing - masing tidak sunyi daripada bersalah . Dengan sikap Al -Masih yang demikian , bukan bererti bahawa beliau merubah Hukum Taurat , melainkan menyuruh mereka terlebih dahulu membersihkan jiwa sendiri  sebelum menuduh-nuduh orang lain . dan yang lebih beliau dari pihak penguasa Romawi . Sebab hak menghukum mesti dijalankan dalam kekuasaan pemerintahan Romawi .[4]
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ  
Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.QS. Al Maidah:49
Dalam Tafsir Fil Zilalil Quran, dijelaskan bahawa ayat Al Maidah:49 diatas adalah peringatan yang cukup keras tentang fitnah yang wajib diwaspadai.
Fitnah apa? Yaitu fitnah golongan yang mengangkat keinginan atau hawa nafsu mereka sebagai hukum dan meninggalkan syariat dan hukum Allah.
“Hendaklah kamu memutuskan” - yakni bererti perlu meletakkan batas atau margin yang cukup jelas antara syariat Islam dan hukum Jahiliyah. Tidak boleh ada percampuran antara keduanya. Jika yang dipilih itu Islam, maka laksanakanlah ia sepenuhnya tanpa ada lagi karat-karat jahiliyah, dan jika masih bergelumang dengan jahiliyah, beerti ia bukan Islam yang sebenarnya.
Golongan yang menginginkan sesuatu menurut hawa nafsu mereka, sentiasa menggunakan ayat-ayat Allah untuk mengaburi yang lain dan menegakkan pendirian mereka. Kerana itu peringatan ini Allah nyatakan dengan cukup jelas dan tegas, berwaspadalah dengan fitnah-fitnah mereka! Seperti ayat diatas “Jangan sampai mereka memperdayakan engkau dengan sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu”.
Jika mereka tetap berpaling dari hukum Allah dan meneruskan kejahilan itu, maka engkau tidak akan bertanggungjawab atas tindakan mereka itu. 
Jangan sesekali tindakan mereka itu membuatkan engkau berpaling juga dan teruslah berpegang teguh dan utuh dengan syariat dan hukum Allah.
Kerana apa? Kerana mereka berpaling dan menyimpang sebab Allah mahu menghinakan mereka atas sebahagian dosa-dosa yang mereka lakukan.
Dan sudah menjadi tabiat manusia, “Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”, kerana itu akan ada mereka yang menyimpang dan keluar dari syariat Allah. Namun kerana perwatakan mereka ini, tiadalah dosa untuk engkau, dan tiadalah dosa bagi syariat.[5]
zNõ3ßssùr& Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# tbqäóö7tƒ 4 ô`tBur ß`|¡ômr& z`ÏB «!$# $VJõ3ãm 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏ%qムÇÎÉÈ  
Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. QS. Al Maidah:50
Maha suci Allah. Mereka menghendaki hukum jahiliyah, hawa nafsu, dan kesesatan, dan menolak hukum Allah SWT yan semuanya adalah benar, cahaya, dan keadilan. Mereka menginginkan hokum makhluk yang serba tidak sempurna, alpa dan bodoh, serta meninggalkan hokum sang pencipta SWT Yang Maha Adil, Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Mereka itu tidak membenarkan, tidak beriman dan tidak menghendaki kebaikan tidak yang lebih baik dari hukum Allah SWT dalam keadilan, penjelasan, hikmah, maslahat dan kebaikan dunia dan akhirat. Namun, hokum yang bersumber dari Allah SWT ini dipatuhi dan disukai hanya oleh orang-orang yang kokoh imannya, mencintai Allah dan menaati-Nya.[6]
C.           Tafsir Surat An Nisa ayat 58 Dalam Penegakan Hukum
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” QS. An Nisa:58
Wahai orang-orang yang beriman, Allah SWT menyuruh kalian agar senantiasa menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya. Adapun amanah yang harus kalian tunaikan untuk Alla SWT adalah melaksanakan perintah-Nya dan mejauhi larangan-Nya. Dan amanah yang harus kalian pelihara diantara sesame kalian diantaranya adalah meyampaikan titipan dan hak-hak kepemilikan harta, melaksanakan akad, menapati janji, tidak membatalkan sumpah.
Kemudian, bila kita kalian ditunjuk atau dipercaya oleh sesama kalian untuk memutuskan sebuah perkara, melerai sebuah perseteruan, atau mendamaikan antara beberapa hamba yang sedang berpekara maka selesaikanlah dengan adil dan bijaksana. Dan hendaklah kalian senantiasa bertakwa kepada Allah SWT ketika mengurusi atau menjalankan semua itu janganlah kalian berbuat zalim, menipu dan berpaling dari kebenaran. Demi Allah SWT sesungguhnya ini merupakan suatu wasiat besar dan nasihat yang sangat agung. Yakni, karena nasihat ini mengandung kebaikan untuk didunia dan dan akhirat, berisi petunjuk kebenaran, dan yang meyampaikanya adalah Allah SWT.  Maka dari itu, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan membenarkan Rasul-Nya hendaklah kalian menaati segala perintah dan larangan Allah, menaati Raul-Nya dengan mengikuti sunnah-sunnahnya dan menegakkan syari’at-Nya secara lahir dan batin.
Apabila kalian berselisih pendapat dalam satu masalah maka tempat merujuk yang tepat adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Artinya, bila kalian tengah berselisih maka berpedomanlah pada syari’at Allah dan ridhalah pada hokum Allah dan Rasulnya. Sebab, didalam keduanya itu kalian akan mendapatkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran yang tiada bandingannya.[7]
Sebagian mufassir lain berpendapat, pihak yang diseru ayat ini bukan hanya penguasa, namun seluruh mukallaf tanpa terkecuali. Pendapat ini dipilih kebanyakan mufassir seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, al-Jashshash, Ibnu Athiyah, al-Jazairi, al-Samarqandi, dan al-Ajili. Kendati penguasa merupakan pihak yang paling utama untuk diseru, hal itu tidak bisa membatasi seruan ini hanya untuk mereka. Sebab, dhamîr kum (kalian) dalam ayat ini bersifat umum sehingga berlaku untuk seluruh mukallaf. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang membatasinya.
Seluruh mukallaf itu diperintahkan an tuaddû al-amânât (menyampaikan amanat). Kata al-amânât (jamak dari kata al-amânah) merupakan bentuk mashdar yang bermakna maf‘ûl. Al-Jazairi menuturkan, amanah adalah segala yang dipercayakan kepada seseorang, baik berupa perkataan, perbuatan, atau harta benda. Al-Biqa’i memaknainya sebagai semua kewajiban yang harus Anda tunaikan terhadap orang lain.
Amanah yang diperintahkan ayat ini meliputi semua jenis amanah. Sebab, kata al-amânât merupakan kata benda jamak yang berbentuk ma‘rifah (ditandai dengan huruf al-alif wa al-lâm di depannya). Secara bahasa, bentuk kata demikian menunjukkan makna umum.
Fakhruddin ar-Razi menuturkan, jenis amanah yang wajib ditunaikan itu menyangkut seluruh interaksi manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya, sesama hamba, maupun dengan dirinya sendiri. Menunaikan amanah Allah Swt. adalah dengan cara mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Ibnu Mas’ud berkata, “Amanah itu wajib dalam segala sesuatu, dalam wudu, janabah, shalat, zakat, puasa, dan haji.” Amanah lisan adalah dengan tidak menggunakannya untuk berdusta, ghîbah (menggunjing), namîmah (mengadu domba), kufur, bid‘ah, perkataan keji, dan sebagainya. Amanah mata adalah dengan tidak menggunakannya untuk memandang yang haram. Amanah pendengaran adalah dengan tidak menggunakannya untuk mendengarkan suara yang dilarang, keji, dusta, dan sebagainya. Demikian pula dengan seluruh anggota badan yang lainnya.
Adapun amanah kepada sesama manusia meliputi semua hak orang lain yang wajib ditunaikan, termasuk di dalamnya mengembalikan barang titipan, tidak mengurangi timbangan dan takaran, dan tidak menyebarkan aib orang lain; tercakup pula keadilan umara terhadap rakyatnya; juga keadilan ulama terhadap orang awam, yakni dengan tidak membuat mereka terjerat ta‘âshub yang batil, namun menjelaskan kepada mereka keyakinan dan amal yang bermanfaat bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Amanah terhadap diri sendiri adalah dengan tidak memilihkan segala sesuatu kecuali yang paling bermanfaat dan layak bagi dirinya, baik di dunia maupun akhirat. Tidak melakukan suatu tindakan atas dasar syahwat dan murka yang dapat membahayakan dirinya di akhirat.
Frasa ilâ ahlihâ mengandung makna bahwa amanah itu harus disampaikan kepada pemiliknya atau wakilnya sebagai pihak yang menggantikannya dan tidak boleh diberikan kepada selainnya. Apabila diberikan kepada bukan pemiliknya, maka tidak dianggap telah menunaikan amanah. Kata ahlihâ tersebut juga memberikan makna umum, baik pemilik amanah itu orang baik maupun orang fâjir.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa idzâ hakamtum bayna an-nâs an tahkumû bi al-‘adl ([Allah menyuruh kalian]—jika menetapkan hukum di antara manusia—untuk menetapkan hukum dengan adil). Menurut Muhammad bin Kaab dan Zaid bin Aslam, ayat ini ditujukan kepada umara atau penguasa.16 Dalam menetapkan keputusan hukum, mereka diperintahkan untuk bertindak adil.
Keputusan yang adil itu bukan hanya ditetapkan bagi Muslim, namun juga non-Muslim. Sebab, kata an-nâs dalam frasa ini menunjukkan makna umum, meliputi seluruh manusia. Karena itu, ayat ini juga menjadi dalil tentang wajibnya penerapan hukum syariah kepada kafir ahludz al-dzimmah—selama tidak ada dalil yang men-takhshîsh bahwa hukum syariah itu hanya ditujukan untuk kaum Muslim.
Oleh al-Baghawi, kata al-‘adl ditafsirkan dengan al-qisth.17 Menurut al-Khazin, makna awal kata al-‘adl adalah al-musâwah fî kulli syay’ (setara dalam segala sesuatu). Karena itu, setiap perkara yang keluar dari kezaliman dan permusuhan disebut adil.18 Realitas itu bisa terjadi jika hukum yang digunakan untuk memutuskannya adalah hukum yang adil[8]


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.
Hukum ditetapkan supaya dimuka bumi ini tidak ada kezaliman, penganiyaan dan pembunuhan agar jiwa dan raga manusia terlindungi dan manusia aman dari permusuhan saudaranya terhadapnya.
Allah SWT mewajibkan kepada umat Kristen agar memutuskan hukum dengan apa yang sudah diturunkan Allah SWT dalam injil. Akan tetapi, barang siapa tidak berhukum kepada perintah dan syari’at Allah SWT dia telah keluat dari ketaatan kepada-Nya SWT dan mengganti syari’at-Nya dengan hukum yang lain.
Allah SWT menyuruh kalian agar senantiasa menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya. Apabila kalian berselisih pendapat dalam satu masalah maka tempat merujuk yang tepat adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul.












DAFTAR PUSTAKA

al Qarni. ‘Aidh(2007),Tafsir Muyassar, Jakarta:PT.Qisthi Press
Amirsyafiq. Muhamad(2011),Tafsir Al Azhar, Surah Al Maidah Ayat 44 Hingga 47, http://worldofaskara.blogspot.com/2011/11/tafsir-al-azhar-surah-al-maidah-ayat-44.html
Asy Syanqthi. Syaikh(2007),Tafsir Adhwa’ul Bayan, Jakarta:Pustaka Azzam
Zainordin. Ahmad Ramdan(2012), Bencana Jahiliayah, http://ummunuman.blogspot.com/2012/11/tafsir-al-maidah-49-50.html




[1] Yeni Saputri,Penegakan Hukum, http://yenisaputri080893.blogspot.com/2013/08/makalah-penegakan-hukum.html, diakses pada tanggal 29 Agustus 2013
[2] Syaikh Asy Syanqthi,Tafsir Adhwa’ul Bayan, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2007), hal. 149-150
[3] ‘Aidh al Qarni,Tafsir Muyassar, (Jakarta:PT.Qisthi Press, 2007), hal. 520-521.
[4] Muhamad Amirsyafiq,Tafsir Al Azhar, Surah Al Maidah Ayat 44 Hingga 47, http://worldofaskara.blogspot.com/2011/11/tafsir-al-azhar-surah-al-maidah-ayat-44.html, diakses pada tanggal 12 November 2011
[5] Ahmad Ramdan Zainordin, Bencana Jahiliayah, http://ummunuman.blogspot.com/2012/11/tafsir-al-maidah-49-50.html, diakses pada tanggal 7 November 2012
[6] ‘Aidh al Qarni, Tafsir Muyassar,. hal. 523-524.
[7] Ibid,.  hal. 402
[8] Heni Putra,Bertindak Amanah dan Adil, http://heniputra.blogspot.com/2013/06/bertindak-amanah-dan-adil-qs-nisa-4-58.html, diakses pada tanggal 12 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar