BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan
modern saat ini, yang mana semakin berkembangnya pola pikir manusia sehingga
mempengaruhi segala bidang kehidupan. Namun, pada kali ini akan dibahas lebih
khusus mengenai aspek social dan individu manusia itu sendiri, yaitu masalah warisan
dan wasiat yang mana hal ini sangat rentan akan kericuhan jika pelaksaan dan
pemahamannya tidak benar.
Kehadiran sistem
wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya sebagai penangkal kericuhan
dalam keluarga. Karena ada di antara anggota keluarga yang tidak berhak
menerima harta peninggalan dengan jalan warisan.
Namun, pada kali
ini akan di bahas mengenai warisan dan wasiat meurut tafsir Alqur’an, karena tidak
ada manusia yang tahu akan umurnya.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Jelaskan tentang
pengertian warisan dan wasiat !
b.
Jelaskan
hubungan warisan dengan tafsir Al qur’an surat An Nisa ayat 7, 8, dan 11 !
c.
Jelaskan
hubungan warisan dengan tafsir Al qur’an surat An Nisa ayat 14, 33, dan 176 !
d.
Jelaskan
hubungan wasiat dengan tafsir Al qur’an surat Al baqarah ayat 180-182 !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Warisan dengan Wasiat
Warisan
dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة). Definisinya menurut istilah syariat ialah,
seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.
Hak-hak
yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak
berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang
lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat
hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:
1.
Hak yang
pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah tersebut untuk
biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai
dikuburkan).
2.
Hak yang ke dua,
pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).
3.
Hak yang ke
tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya
pelunasan utang-utangnya.
4.
Hak yang ke
empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari
sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).
Makna
wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang
dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si
pemberi meninggal dunia.
Dari
definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya)
dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki
pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat,
ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal
dunia terlebih dahulu.[1]
Arti
wasiat dalam KBBI adalah pusaka atau pesan terakhir disampaikan oleh orang yang
akan meninggal dunia (biasanya mengenai harta kekayaan). Wasiat berasal dari washai
tusy a uushiihi berarti aushaltuhu (saya
menyambungkannya). Jadi, orang yang berwasiat adalah orang yang menyambung apa
yang telah ditetapkan pada waktu hidupnya sampai dengan sesudah wafatnya.
Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang memberi barang, atau piutang,
atau sesuatu yang bermanfa’at, dengan catatan bahwa pemberian termaksud akan
menjadi hak milik si penerima wasiat setelah meninggalnya si pemberi wasiat.[2]
B.
Hubungan
Surat An Nisa ayat 7, 8 dan 11 dengan Warisan
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uèYx. 4 $Y7ÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
Artinya : “Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” QS.
An Nisa:7
“Keluarga dekat atau kerabat” mempuyai arti
teknik dalam undang-undang India, yang ada hubunganya dengan jenis ahli waris
tertentu, sedang yang dimaksud disini adalah orang yang harta puskanya dapat
dibagi. Bagian-bagian itu sudah ada ketentuannya. Secara umum dasar-dasarnya
yang sudah diatur ialah, bahwa perempuan mendapat waris sama seperti laki-laki,
dan pihak kerabat yang tidak punya bagian yang sah, anak yatim dan kaum fakir
miskin, tidak boleh diperlakukan kasar bila mereka hadir pada waktu pembagian.
Bagian mereka juga dapat dibebankan kepada harta itu sebagai harta pemakaman.[3]
Anak laki-laki dan anak perempuan
sama-sama berhak mendapatkan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan
kerabat mereka, baik jumlah warisan tersebut sedikit atau banyak. Bahkan,
meskipun warisan tersebut hanya pantas bagi laki-laki semisal seperangkat alat
perang atau hanya pantas bagi perempuan semisal sebuah perhiasan dan
sejenisnya. Ketetapan ini merupakan penentangan terhadap budaya Jahiliyah yang
tidak memberikan hak waris kepada wanita yang hanya memberikan hak tersebut
kepada anak laki-laki saja dengan alasan terucap seperti ini, “Bagaimana kami
akan member warisan kepada orang yang tidak kuat dalam peperangan dan tidak
bias meyambut tamu?”
Demikianlah Allah s.w.t mendustakan dan
menolak budaya mereka itu dengan tetap memberikan hak waris kepada nak
perempuan dan menjadikan hak tersebut sebagai bagian yang pasti dan tetap,
serta tidak boleh dizalimi dan diremehkan dalam kondisi apapun.[4]
#sÎ)ur u|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ
Artinya : “Dan apabila
sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik”. QS. An Nisa:8
Wahai wali (pengasuh) anak yatim,
bertakwalah dan takutlah kepada Allah dalam melaksanakan wasiat yang berkaitan
dengan anak yatim dan bersikap baiklah kepadanya. Dan ingatlah seandainya
engkau mati dan meninggalkan anak-anak kecil yang lemah, kemudian seseorang
yang zalim lagi keji memelihara anak-anakmu. Bayangkanlah bagaimana jadinya
kondisi mereka setelah itu, anggalah anak-anak yatim itu seperti anak-anakmu
sendiri. Dengan bahasa lain, sebagaimana engkau menginginkan kebaikan untuk
anak-anakmu, mengasihi dan menyayangi mereka maka kasih sanyangilah anak-anak
yatim itu sebagaimana engkau mengasihi dan menyanyagi anak-anakmu sendiri.[5]
Jadi bila ada kerabat, anak yatim dan
orang miskin yang ikut menyaksikan pembagian warisan, maka mereka diberi bagian
sekadarnya sebagai “uang dengar” atau “uang penggembira”. Apabila mereka
meminta lebih, maka jelaskanlah dengan baik-baik. Jangan dibentak. jangan
dimaki atau dihina. Misalnya dinasehati seperti ini, ” Bapak-bapak, ibu-ibu,
saudara-saudara, tidak termasuk yang mendapatkan warisan. Ini kami berikan
sebagai bentuk persahabatan atau silaturahmi”.
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Artinya: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
QS. An Nisa.11
Pada ayat ini dijelaskan perincian dari
hokum warisan yang disebutkan secara umum pada ayat ketujuh tadi. Dalam arti,
Allah s.w.t memerintahkan dan menegaskan kepada kalian agar bersikap adil dalam
pembagian warisan kepada anak-anakmu, baik kepada anak laki-laki meupun kepada
anak perempuan.
Yakni, apabila simayit meninggalkan
beberapa anak laki-laki dan perempuan maka bagian anak laki-laki adalah dua
kali bagian anak perempuan. Apabila si mayit hanya memiliki beberapa anak
perempuan saja dua atau lebih maka bagian mereka adalah 2/3 dari harta warisan
tersebut. Adapun jika si mayit hanya mempuyai seorang anak perempuan saja maka
bagian dari sianak ini adalah ½ dari peninggalan orang tuanya.
Anak laki-laki berhak mendapat dua kali
bagian perempuan adalah dikarenakan kebutuhan laki-laki lebih banyak, ia harus
membayar mahar, member nafkah istri dan menfkahi keluarga. Sementara perempuan,
ia tidak memiliki tanggaung jawab untuk membri nafkah kepada siapapun.
Adapun ayah dan si ibu mayit sama-sam
mendapat bagian 1/6 dari harta peninggalan mayit. Bagia itu didapatkan keduanya
jika si mayit mempuyai anak, baik laki-laki maupun perempuan. Jika si mayit
tidak mempuyai anak yang mewarisnya dan tidak ada ahli waris selain kedua orang
tuanya maka si ibu mayit berhak mendapat 1/3 dari harta peninggalanya dan
sisanya untuk ayah. Jika si mayit mempuyai saudara, dua orang atau lebih maka
si ibu mendapat bagian 1/6.
Dan pembagian harta pusaka diatas harus
dilakukan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t yaitu setelah
wasiat si mayit dilaksanakan dan semua hutang-hutang dilunasi.
Alla s.w.t sengaja menentuka masalah
pembagian warisan ini sendiri. Dan tidak meibatkan makhuk-Nya yaitu agar tidak
terjadi kecurangan atau kezaliman. Sebab jika masaah pembagian ini diserahkan
kepada manusia, niscaya akan banyak hak yang terzalimi, karena kalian tidak
mengetahui siapa yang lebih bermamfaat untuk mu dari kedua orang tua dan
anak-anakmu maka serahkan saja urusan ini kepada Sang Pencipta semua hamba.
Sebab, Dia s.w.t lebih mengetahui apa yang bias memenuhi kepentingan manusia.[6]
C.
Hubungan Surat An Nisa ayat 14, 33 dan 176 dengan
Warisan
ÆtBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtur ¼çnyrßãn ã&ù#Åzôã #·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
Artinya: “Dan
Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” QS. An Nisa;14
Barang siapa yang menentang perintah
Allah s.w.t dan Rasullullah s.a.w tidak menaati aturan-atura-Nya, melanggar
larangan-Nya, dan tidak melaksanakan hukum-hukum-Nya maka balasan bagi orang
seperti ini adalah Neraka Jahanam yang disertai dengan kehinaan, kenistaan,
belenggu dan siksaan yang kekal abadi, tiada henti, dan tidak pernah
diringankan.[7]
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# cqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ
Artinya: “Bagi
tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” QS. An Nisa:33
Mawali jamak Maula, dari akar wala,
yakni dekat dalam arti tempat atau hubungan, ikut. Oleh karena itu maula
berarti : (1) kerabat dekat, (2) ahli waris, (3) mitra, ketiga arti ini di sini
sudah tercakup, (4) tetangga atau teman, atau pelindung, atau yang dilindungi,
tuan atau majikan.
Tatkala terjadi hijrah dari Mekkah ke
Madinah, ikatan persaudaraan begitu akrab antara kaum Muhajirin dengan Ansar.
Mereka masing-masing saling berbagi warisan. Kemudian, setelah umat sudah
tersusun kuat, dan hubungan mereka yang tertinggal di Mekkah dilanjutkan
kembali, hak-hak atas pertalian mereka yang di Mekah dan kaum Ansar di Madinah
sudah terjalin dengan baik. Inilah arti yang khusus. Arti yang lebih umum
adalah sama: pertalian darah, keterangan, keakraban dan saling pengertian harus
dihormati. Berlakulah adil terhadap semua itu.[8]
Setiap orang yang mati mempuyai ahli
waris yang berhak mewarisi hartanya. Dan ahli waris ini bias terdiri dari anak
atau sanak kerabat si mayit. Dengan bahasa lain, ahli waris ini berhak menerima
warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau sanak saudaranya.
Demikian halnya orang-orang yang pernah
mengadakan sumpah setia dengan si mayit untuk saling tolong menolong dan
mewarisi pada masa jahiliayah dulu, mereka berha menerima warisan yang
ditinggalkan simayit. Maka, berikanlah bagian mereka dari yang ditinggalkan si
mayit. Namun, hukum ini hanya berlaku pada permulaan turunnya perintah ini dan
kemudian dinasakh dengan firman-Nya yang berbunyi “Dan orang –orang yang mempuyai hubungan dengan kerabat itu sebagianya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat).” Maksudnya,
mereka ini lebih berhak mewarisi harta peninggalan si mayit daripada
orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat dengan si mayit.
Dan Allah s.w.t melihat apa yang
tersimpan di dalam hati kecil seseorang, mengetahui setiap rahasia yang
disimpanya, tidak ada sesuatu pun yang terlihat samar oleh-Nya, dan tidak ada
ghaib dari pandangan-Nya.
Dan pada ayat tadi disebutkan bahwasanya
Allah s.w.t itu ar-Raqib (yang mengawasi), asy-Syahid (Yang Menyaksikan), dan
al-Hisab (Yang Membuat Perhitugan) atas pelaksanaan semua bentuk ketentuan,
batasan-batasan, perintah dan hokum-hukum-Nya bahwa sesunguhnya Allah s.w.t,
senantiasa mengawasi dan melihat orang-orang yang melanggar dan Dia s.w.t
senantiasa mengawasi dan melihat orang-orang yang melanggar dan Dia s.w.t
member pahala kepada orang-orang yang taat kepadanya-Nya dan mengikuti sunnah
Rasul-Nya.[9]
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿã Îû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèOÌt bÎ) öN©9 `ä3t $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur Ìx.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3 ßûÎiüt6ã ª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OÎ=tæ ÇÊÐÏÈ
Artinya: “Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”QS. An Nisa:176
Wahai Muhammad, manusia bertanya kepadamu
tentang masalah kalalah, yaitu orang laki-laki meninggal dunia dan tidak
meninggalkan ayah dan anak; siapakah yang berhak mewarisi harta pusakanya ?
Apakah saudara laki-laki ataukah saudara perempuanya ? maka dari itu,
kabarkanlah kepada mereka bahwa apabila seseorang saudara perempuan saja dan ia
tidak mempuyai ahli waris selain hanya seorang saudara perempuan saja dan ia
tidak lagi memiliki orang tua dan anak-anak atau yang dikenal dengan istilah kalalah
maka saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah si mayit itu
berhak mendapat ½ dari harta yang ditinggalkan.
Adapun bila si mayit memiliki saudara
laki-laki kandung atau seayah dan ia tidak mempuyai ayah dan anak maka saudara
laki-laki sekandung atau seayah tadi berhak mendapat mendapatkan semua
warisanya.
Sementara jika saudara perempuan tadi
berjumlah dua orang atau lebih, maka bagian untuk keduanya adalah 2/3 dari
harta yang ditinggalkan saudaranya. Jika ahli warisnya adalah terdiri dari
saudara laki-lakidan saudara perempuan, maka bagian silaki-laki adalah sama
dengan bagian dua orang perempuan.
Allah s.w.t menjelaskan hal ini agar
manusia tidak salah dalam pembagian warisan. Atau, agar tidak terjadi kezaliman
pada salah satu atau sebagian ahli waris, terutama bila didalamnya terdapat
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan wanita. Karena itulah, Alla s.w.t
menutup surah ini dan hak-hak para wanita, anak-anak yatim, anak-anak
perempuan, dan saudara-saudara perempuan karena lemahnya mereka. Selain itu,
adalah agar para hamba senantiasa ingat dengan hak-hak mereka yang harus
dijaga, dihormati, dan diserahkan kepada mereka dengan sempurna.[10]
D.
Hubungan
Surat Al Baqarah ayat 180-182 dengan Wasiat
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya: “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” QS. Albaqarah:180
Wahai orang-orang yang beriman, apabila
salah seorang dari kalian merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian pada
dirinya maka kami wajibkan kepadanya agar mewasiatkan sebagian harta warisannya
untuk kedua orag tuanya atau sanak kerabatnya, dengan catatan wasiat tersebut
tidak merugikan ahli waris yang lain, yakni tidak melibihi 1/3.
Dan jaganlah ia menghalangi pahala untuk
dirinya sendiri, janganlah ia lupa berbuat baik untuk kerabatnya, dan janganlah
pula ia mengurangi hak ahli warisnya dalam surat wasiat tersebut. Dan wasiat
ini merupakan kewajiban bagi orang yang bertaqwa dan menaati Raab-Nya.
Namun ketatapan hukum pada ayat ini
akhirnya di nasakh (dihapus) oleh ayat-ayat mawaris (ayat tentang harta waris),
yang menjelaskan bahwa harta warisnya harus dibagikan kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan hak nya masing-masing. Dalam hukum yang baru ini juga
telah ditetapkan siapa saja sanak kerabat yang berhak menerima warisan si
mayit, berapa hak mereka masing-masing, dan siapa saja yang tidak berhak
menerima warisan si mayit. Mahasuci Allah, Sang Raja yang sebenar-benarnya.[11]
.`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿx !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ã 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿx ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ
Artinya: “Maka
Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka
Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” QS. Al Baqarah:181
Barang siapa mengubah wasiat si mayit,
atau mengubah isinya saat menyampaikannya, atau menyembunyikanya baik dalam
wasiat itu ia sebagai orang yang diwasiati, penulis ataupun sebagai saksi maka
dosa dan kecelakaan hanya akan ditimpakan kepada orang yang melakukannya saja,
tidak kepada orang yang tidak melakukannya, karena dengan semua itu berarti
sipelaku telah mengabaikan amanah, berkhianat, manyia-nyiakan hak orang lain,
dan menghalagi wasiat itu dari orang yang berhak untuk menerimanya.
Ketahuilah sesungguhnya tiadak ada
sesuatupun yang tersembunyi dari Allah, Dia Maha Melihat segala niatyang
terbesit dalam hati manusia, mendengar segala suara, mengetahui segala amal
perbuatan dan setiap keadaan. Kecelakaanlah bagi orang yang mengubah-ubah
wasiat dan kerugian besarlah atas orang yang memalsukannya dan
mengubah-ubahnya.[12]
ô`yJsù t$%s{ `ÏB <ÉqB $¸ÿuZy_ ÷rr& $VJøOÎ) yxn=ô¹r'sù öNæhuZ÷t/ Ixsù zOøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÑËÈ
Artinya: “(akan tetapi)
Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah
atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” QS. Al
Baqarah:182.
Namun, apabila dikhawatirkan orang yang
berwasiat beraku berat sebelah (tidak adil) dalam wasiatnya misalnya berwasiat
untuk menghindari pembagian warisan dengan cara memperbesar jumlah harta yang
diwasiatkan, atau berwasiat untuk mencegah ahli waris yang sebenarnya tidak
menerima maka orang yang mengingikan kebaikan diperbolehkan mendamaikan para
ahli waris dengan penerima wasiat dengan meminta sipewasiat agar berbuat adil
dan bijaksana, sehingga dalam wasiatnya tidak ada yang dirugikan dan merugikan.
Artinya, seseorang diperbolehkan untuk meminta kepada orang yang berwasiat
untuk mengubah wasiatnya dengan wasiat yang tidak merugikan ahli waris, tetapi
baik untuk sipenerima wasiat.
Sesungguhnya Allah akan mengampuni
kesalahan orang yang telah berijtihad dan memberi pahala atas usahanya untuk
mencari terbaik, karena Dia Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembagian hak waris berdasarkan kondisi para
pewaris. Wanita mendapat separuh pria hanya dalam kondisi tertentu. Sebab
itu, tidak berarti hukum waris itu tidak adail. Bahkan sangat adil.
Di antara sebabnya, semua harta wanita murni untuk diri mereka. Sedangkan
kewajiban ekonomi keluarga terletak atas laki-laki. Inilah salah
satu cara penghormatan Allah terhadap wanita yang tidak ditemukan
dalam sistem mana pun selain sistem Islam.
Allah s.w.t menjelaskan hal ini agar
manusia tidak salah dalam pembagian warisan. Atau, agar tidak terjadi kezaliman
pada salah satu atau sebagian ahli waris, terutama bila didalamnya terdapat
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan wanita. Selain itu, adalah agar para
hamba senantiasa ingat dengan hak-hak mereka yang harus dijaga, dihormati, dan
diserahkan kepada mereka dengan sempurna.
Diwajibkan mewasiatkan sebagian harta
warisannya apabila salah merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian pada
dirinya. Barang siapa mengubah wasiat si mayit, atau mengubah isinya saat
menyampaikannya, atau menyembunyikanya sebagai saksi maka dosa dan kecelakaan
hanya akan ditimpakan. Seseorang diperbolehkan untuk meminta kepada orang yang berwasiat
untuk mengubah wasiatnya dengan wasiat yang tidak merugikan ahli waris, tetapi
baik untuk sipenerima wasiat.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qarni. ‘Aidh,Tafsir Muyassar(2007), Jakarta:PT.Qisthi
Press
Arief Budiman. Abu Abdillah(2010), Sekilas Hibah, Wasiat dan Warisa, http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/
Yusuf Ali. Abdullah(2009), Tafsir Yusuf Ali terjemahan Ali Audah.
Jilid.I, Bogor:PT.Pusaka Litera Antar Nusa.
[1] Abu Abdillah Arief Budiman, Sekilas Hibah, Wasiat dan Warisa, http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/, diakses pada tanggal 18 Februari 2010.
[2] Mufti,Tafsir Ahkam Wasiat, http://mufti2013.blogspot.com/2011/03/tafsir-ahkam-wasiat.html, diakses pada
tanggal 24 Desember 2011.
[3]
Abdullah Yusf Ali,
Tafsir Yusuf Ali terjemahan Ali Audah. Jilid.I, (Bogor:PT.Pusaka Litera
Antar Nusa, 2009). hal. 184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar