Minggu, 08 Maret 2015

warisan dan wasiat tafsir TPA

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam kehidupan modern saat ini, yang mana semakin berkembangnya pola pikir manusia sehingga mempengaruhi segala bidang kehidupan. Namun, pada kali ini akan dibahas lebih khusus mengenai aspek social dan individu manusia itu sendiri, yaitu masalah warisan dan wasiat yang mana hal ini sangat rentan akan kericuhan jika pelaksaan dan pemahamannya tidak benar.
Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga. Karena ada di antara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan jalan warisan.
Namun, pada kali ini akan di bahas mengenai warisan dan wasiat meurut tafsir Alqur’an, karena tidak ada manusia yang tahu akan umurnya.
B.            Rumusan Masalah
a.              Jelaskan tentang pengertian warisan dan wasiat !
b.             Jelaskan hubungan warisan dengan tafsir Al qur’an surat An Nisa ayat 7, 8, dan 11 !
c.              Jelaskan hubungan warisan dengan tafsir Al qur’an surat An Nisa ayat 14, 33, dan 176 !
d.             Jelaskan hubungan wasiat dengan tafsir Al qur’an surat Al baqarah ayat 180-182 !



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Warisan dengan Wasiat
Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة). Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.
Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:
1.             Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
2.             Hak yang ke dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang). 
3.             Hak yang ke tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang-utangnya.
4.             Hak yang ke empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.
Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu.[1]
Arti wasiat dalam KBBI adalah pusaka atau pesan terakhir disampaikan oleh orang yang akan meninggal dunia (biasanya mengenai harta kekayaan). Wasiat berasal dari washai tusy a uushiihi berarti aushaltuhu (saya menyambungkannya). Jadi, orang yang berwasiat adalah orang yang menyambung apa yang telah ditetapkan pada waktu hidupnya sampai dengan sesudah wafatnya. Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang memberi barang, atau piutang, atau sesuatu yang bermanfa’at, dengan catatan bahwa pemberian termaksud akan menjadi hak milik si penerima wasiat setelah meninggalnya si pemberi wasiat.[2]
B.            Hubungan Surat An Nisa ayat 7, 8 dan 11 dengan Warisan
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” QS. An Nisa:7
“Keluarga dekat atau kerabat” mempuyai arti teknik dalam undang-undang India, yang ada hubunganya dengan jenis ahli waris tertentu, sedang yang dimaksud disini adalah orang yang harta puskanya dapat dibagi. Bagian-bagian itu sudah ada ketentuannya. Secara umum dasar-dasarnya yang sudah diatur ialah, bahwa perempuan mendapat waris sama seperti laki-laki, dan pihak kerabat yang tidak punya bagian yang sah, anak yatim dan kaum fakir miskin, tidak boleh diperlakukan kasar bila mereka hadir pada waktu pembagian. Bagian mereka juga dapat dibebankan kepada harta itu sebagai harta pemakaman.[3]
Anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama berhak mendapatkan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat mereka, baik jumlah warisan tersebut sedikit atau banyak. Bahkan, meskipun warisan tersebut hanya pantas bagi laki-laki semisal seperangkat alat perang atau hanya pantas bagi perempuan semisal sebuah perhiasan dan sejenisnya. Ketetapan ini merupakan penentangan terhadap budaya Jahiliyah yang tidak memberikan hak waris kepada wanita yang hanya memberikan hak tersebut kepada anak laki-laki saja dengan alasan terucap seperti ini, “Bagaimana kami akan member warisan kepada orang yang tidak kuat dalam peperangan dan tidak bias meyambut tamu?”
Demikianlah Allah s.w.t mendustakan dan menolak budaya mereka itu dengan tetap memberikan hak waris kepada nak perempuan dan menjadikan hak tersebut sebagai bagian yang pasti dan tetap, serta tidak boleh dizalimi dan diremehkan dalam kondisi apapun.[4]
#sŒÎ)ur uŽ|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ  
Artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu  (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik”. QS. An Nisa:8
Wahai wali (pengasuh) anak yatim, bertakwalah dan takutlah kepada Allah dalam melaksanakan wasiat yang berkaitan dengan anak yatim dan bersikap baiklah kepadanya. Dan ingatlah seandainya engkau mati dan meninggalkan anak-anak kecil yang lemah, kemudian seseorang yang zalim lagi keji memelihara anak-anakmu. Bayangkanlah bagaimana jadinya kondisi mereka setelah itu, anggalah anak-anak yatim itu seperti anak-anakmu sendiri. Dengan bahasa lain, sebagaimana engkau menginginkan kebaikan untuk anak-anakmu, mengasihi dan menyayangi mereka maka kasih sanyangilah anak-anak yatim itu sebagaimana engkau mengasihi dan menyanyagi anak-anakmu sendiri.[5]
Jadi bila ada kerabat, anak yatim dan orang miskin yang ikut menyaksikan pembagian warisan, maka mereka diberi bagian sekadarnya sebagai “uang dengar” atau “uang penggembira”. Apabila mereka meminta lebih, maka jelaskanlah dengan baik-baik. Jangan dibentak. jangan dimaki atau dihina. Misalnya dinasehati seperti ini, ” Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara, tidak termasuk yang mendapatkan warisan. Ini kami berikan sebagai bentuk persahabatan atau silaturahmi”.
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. An Nisa.11
Pada ayat ini dijelaskan perincian dari hokum warisan yang disebutkan secara umum pada ayat ketujuh tadi. Dalam arti, Allah s.w.t memerintahkan dan menegaskan kepada kalian agar bersikap adil dalam pembagian warisan kepada anak-anakmu, baik kepada anak laki-laki meupun kepada anak perempuan.
Yakni, apabila simayit meninggalkan beberapa anak laki-laki dan perempuan maka bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Apabila si mayit hanya memiliki beberapa anak perempuan saja dua atau lebih maka bagian mereka adalah 2/3 dari harta warisan tersebut. Adapun jika si mayit hanya mempuyai seorang anak perempuan saja maka bagian dari sianak ini adalah ½ dari peninggalan orang tuanya.
Anak laki-laki berhak mendapat dua kali bagian perempuan adalah dikarenakan kebutuhan laki-laki lebih banyak, ia harus membayar mahar, member nafkah istri dan menfkahi keluarga. Sementara perempuan, ia tidak memiliki tanggaung jawab untuk membri nafkah kepada siapapun.
Adapun ayah dan si ibu mayit sama-sam mendapat bagian 1/6 dari harta peninggalan mayit. Bagia itu didapatkan keduanya jika si mayit mempuyai anak, baik laki-laki maupun perempuan. Jika si mayit tidak mempuyai anak yang mewarisnya dan tidak ada ahli waris selain kedua orang tuanya maka si ibu mayit berhak mendapat 1/3 dari harta peninggalanya dan sisanya untuk ayah. Jika si mayit mempuyai saudara, dua orang atau lebih maka si ibu mendapat bagian 1/6.
Dan pembagian harta pusaka diatas harus dilakukan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t yaitu setelah wasiat si mayit dilaksanakan dan semua hutang-hutang dilunasi.
Alla s.w.t sengaja menentuka masalah pembagian warisan ini sendiri. Dan tidak meibatkan makhuk-Nya yaitu agar tidak terjadi kecurangan atau kezaliman. Sebab jika masaah pembagian ini diserahkan kepada manusia, niscaya akan banyak hak yang terzalimi, karena kalian tidak mengetahui siapa yang lebih bermamfaat untuk mu dari kedua orang tua dan anak-anakmu maka serahkan saja urusan ini kepada Sang Pencipta semua hamba. Sebab, Dia s.w.t lebih mengetahui apa yang bias memenuhi kepentingan manusia.[6]
C.           Hubungan  Surat An Nisa ayat 14, 33 dan 176 dengan Warisan
ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ  
Artinya: “Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” QS. An Nisa;14
Barang siapa yang menentang perintah Allah s.w.t dan Rasullullah s.a.w tidak menaati aturan-atura-Nya, melanggar larangan-Nya, dan tidak melaksanakan hukum-hukum-Nya maka balasan bagi orang seperti ini adalah Neraka Jahanam yang disertai dengan kehinaan, kenistaan, belenggu dan siksaan yang kekal abadi, tiada henti, dan tidak pernah diringankan.[7]
9e@à6Ï9ur $oYù=yèy_ uÍ<ºuqtB $£JÏB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur 4 tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã öNà6ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqè?$t«sù öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$# tb%Ÿ2 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« #´Îgx© ÇÌÌÈ  
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” QS. An Nisa:33
Mawali jamak Maula, dari akar wala, yakni dekat dalam arti tempat atau hubungan, ikut. Oleh karena itu maula berarti : (1) kerabat dekat, (2) ahli waris, (3) mitra, ketiga arti ini di sini sudah tercakup, (4) tetangga atau teman, atau pelindung, atau yang dilindungi, tuan atau majikan.
Tatkala terjadi hijrah dari Mekkah ke Madinah, ikatan persaudaraan begitu akrab antara kaum Muhajirin dengan Ansar. Mereka masing-masing saling berbagi warisan. Kemudian, setelah umat sudah tersusun kuat, dan hubungan mereka yang tertinggal di Mekkah dilanjutkan kembali, hak-hak atas pertalian mereka yang di Mekah dan kaum Ansar di Madinah sudah terjalin dengan baik. Inilah arti yang khusus. Arti yang lebih umum adalah sama: pertalian darah, keterangan, keakraban dan saling pengertian harus dihormati. Berlakulah adil terhadap semua itu.[8]
Setiap orang yang mati mempuyai ahli waris yang berhak mewarisi hartanya. Dan ahli waris ini bias terdiri dari anak atau sanak kerabat si mayit. Dengan bahasa lain, ahli waris ini berhak menerima warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya atau sanak saudaranya.
Demikian halnya orang-orang yang pernah mengadakan sumpah setia dengan si mayit untuk saling tolong menolong dan mewarisi pada masa jahiliayah dulu, mereka berha menerima warisan yang ditinggalkan simayit. Maka, berikanlah bagian mereka dari yang ditinggalkan si mayit. Namun, hukum ini hanya berlaku pada permulaan turunnya perintah ini dan kemudian dinasakh dengan firman-Nya yang berbunyi “Dan orang –orang yang mempuyai hubungan dengan kerabat itu sebagianya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat).” Maksudnya, mereka ini lebih berhak mewarisi harta peninggalan si mayit daripada orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat dengan si mayit.
Dan Allah s.w.t melihat apa yang tersimpan di dalam hati kecil seseorang, mengetahui setiap rahasia yang disimpanya, tidak ada sesuatu pun yang terlihat samar oleh-Nya, dan tidak ada ghaib dari pandangan-Nya.
Dan pada ayat tadi disebutkan bahwasanya Allah s.w.t itu ar-Raqib (yang mengawasi), asy-Syahid (Yang Menyaksikan), dan al-Hisab (Yang Membuat Perhitugan) atas pelaksanaan semua bentuk ketentuan, batasan-batasan, perintah dan hokum-hukum-Nya bahwa sesunguhnya Allah s.w.t, senantiasa mengawasi dan melihat orang-orang yang melanggar dan Dia s.w.t senantiasa mengawasi dan melihat orang-orang yang melanggar dan Dia s.w.t member pahala kepada orang-orang yang taat kepadanya-Nya dan mengikuti sunnah Rasul-Nya.[9]
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿムÎû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øŠs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèO̍tƒ bÎ) öN©9 `ä3tƒ $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur ̍x.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3 ßûÎiüt6ムª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OŠÎ=tæ ÇÊÐÏÈ  
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”QS. An Nisa:176
 Wahai Muhammad, manusia bertanya kepadamu tentang masalah kalalah, yaitu orang laki-laki meninggal dunia dan tidak meninggalkan ayah dan anak; siapakah yang berhak mewarisi harta pusakanya ? Apakah saudara laki-laki ataukah saudara perempuanya ? maka dari itu, kabarkanlah kepada mereka bahwa apabila seseorang saudara perempuan saja dan ia tidak mempuyai ahli waris selain hanya seorang saudara perempuan saja dan ia tidak lagi memiliki orang tua dan anak-anak atau yang dikenal dengan istilah kalalah maka saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah si mayit itu berhak mendapat ½ dari harta yang ditinggalkan.
Adapun bila si mayit memiliki saudara laki-laki kandung atau seayah dan ia tidak mempuyai ayah dan anak maka saudara laki-laki sekandung atau seayah tadi berhak mendapat mendapatkan semua warisanya.
Sementara jika saudara perempuan tadi berjumlah dua orang atau lebih, maka bagian untuk keduanya adalah 2/3 dari harta yang ditinggalkan saudaranya. Jika ahli warisnya adalah terdiri dari saudara laki-lakidan saudara perempuan, maka bagian silaki-laki adalah sama dengan bagian dua orang perempuan.
Allah s.w.t menjelaskan hal ini agar manusia tidak salah dalam pembagian warisan. Atau, agar tidak terjadi kezaliman pada salah satu atau sebagian ahli waris, terutama bila didalamnya terdapat anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan wanita. Karena itulah, Alla s.w.t menutup surah ini dan hak-hak para wanita, anak-anak yatim, anak-anak perempuan, dan saudara-saudara perempuan karena lemahnya mereka. Selain itu, adalah agar para hamba senantiasa ingat dengan hak-hak mereka yang harus dijaga, dihormati, dan diserahkan kepada mereka dengan sempurna.[10]
D.           Hubungan Surat Al Baqarah ayat 180-182 dengan Wasiat
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” QS. Albaqarah:180
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian pada dirinya maka kami wajibkan kepadanya agar mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk kedua orag tuanya atau sanak kerabatnya, dengan catatan wasiat tersebut tidak merugikan ahli waris yang lain, yakni tidak melibihi 1/3.
Dan jaganlah ia menghalangi pahala untuk dirinya sendiri, janganlah ia lupa berbuat baik untuk kerabatnya, dan janganlah pula ia mengurangi hak ahli warisnya dalam surat wasiat tersebut. Dan wasiat ini merupakan kewajiban bagi orang yang bertaqwa dan menaati Raab-Nya.
Namun ketatapan hukum pada ayat ini akhirnya di nasakh (dihapus) oleh ayat-ayat mawaris (ayat tentang harta waris), yang menjelaskan bahwa harta warisnya harus dibagikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan hak nya masing-masing. Dalam hukum yang baru ini juga telah ditetapkan siapa saja sanak kerabat yang berhak menerima warisan si mayit, berapa hak mereka masing-masing, dan siapa saja yang tidak berhak menerima warisan si mayit. Mahasuci Allah, Sang Raja yang sebenar-benarnya.[11]
.`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿxœ !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ム4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ  
Artinya: “Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” QS. Al Baqarah:181
Barang siapa mengubah wasiat si mayit, atau mengubah isinya saat menyampaikannya, atau menyembunyikanya baik dalam wasiat itu ia sebagai orang yang diwasiati, penulis ataupun sebagai saksi maka dosa dan kecelakaan hanya akan ditimpakan kepada orang yang melakukannya saja, tidak kepada orang yang tidak melakukannya, karena dengan semua itu berarti sipelaku telah mengabaikan amanah, berkhianat, manyia-nyiakan hak orang lain, dan menghalagi wasiat itu dari orang yang berhak untuk menerimanya.
Ketahuilah sesungguhnya tiadak ada sesuatupun yang tersembunyi dari Allah, Dia Maha Melihat segala niatyang terbesit dalam hati manusia, mendengar segala suara, mengetahui segala amal perbuatan dan setiap keadaan. Kecelakaanlah bagi orang yang mengubah-ubah wasiat dan kerugian besarlah atas orang yang memalsukannya dan mengubah-ubahnya.[12]
ô`yJsù t$%s{ `ÏB <ÉqB $¸ÿuZy_ ÷rr& $VJøOÎ) yxn=ô¹r'sù öNæhuZ÷t/ Ixsù zOøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOŠÏm§ ÇÊÑËÈ  
Artinya: “(akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, Maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” QS. Al Baqarah:182.
Namun, apabila dikhawatirkan orang yang berwasiat beraku berat sebelah (tidak adil) dalam wasiatnya misalnya berwasiat untuk menghindari pembagian warisan dengan cara memperbesar jumlah harta yang diwasiatkan, atau berwasiat untuk mencegah ahli waris yang sebenarnya tidak menerima maka orang yang mengingikan kebaikan diperbolehkan mendamaikan para ahli waris dengan penerima wasiat dengan meminta sipewasiat agar berbuat adil dan bijaksana, sehingga dalam wasiatnya tidak ada yang dirugikan dan merugikan. Artinya, seseorang diperbolehkan untuk meminta kepada orang yang berwasiat untuk mengubah wasiatnya dengan wasiat yang tidak merugikan ahli waris, tetapi baik untuk sipenerima wasiat.
Sesungguhnya Allah akan mengampuni kesalahan orang yang telah berijtihad dan memberi pahala atas usahanya untuk mencari terbaik, karena Dia Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.[13]
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Pembagian hak waris berdasarkan  kondisi para pewaris. Wanita mendapat separuh pria hanya dalam kondisi  tertentu. Sebab itu, tidak berarti  hukum waris itu tidak adail. Bahkan  sangat adil. Di antara sebabnya, semua  harta wanita murni untuk diri mereka. Sedangkan kewajiban ekonomi  keluarga terletak atas laki-laki. Inilah  salah satu cara penghormatan Allah  terhadap wanita yang tidak ditemukan  dalam sistem mana pun selain sistem  Islam.
Allah s.w.t menjelaskan hal ini agar manusia tidak salah dalam pembagian warisan. Atau, agar tidak terjadi kezaliman pada salah satu atau sebagian ahli waris, terutama bila didalamnya terdapat anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan wanita. Selain itu, adalah agar para hamba senantiasa ingat dengan hak-hak mereka yang harus dijaga, dihormati, dan diserahkan kepada mereka dengan sempurna.
Diwajibkan mewasiatkan sebagian harta warisannya apabila salah merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian pada dirinya. Barang siapa mengubah wasiat si mayit, atau mengubah isinya saat menyampaikannya, atau menyembunyikanya sebagai saksi maka dosa dan kecelakaan hanya akan ditimpakan. Seseorang diperbolehkan untuk meminta kepada orang yang berwasiat untuk mengubah wasiatnya dengan wasiat yang tidak merugikan ahli waris, tetapi baik untuk sipenerima wasiat.



DAFTAR PUSTAKA

Al Qarni. ‘Aidh,Tafsir Muyassar(2007), Jakarta:PT.Qisthi Press

Arief Budiman. Abu Abdillah(2010), Sekilas Hibah, Wasiat dan Warisa, http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/


Yusuf Ali. Abdullah(2009), Tafsir Yusuf Ali terjemahan Ali Audah. Jilid.I, Bogor:PT.Pusaka Litera Antar Nusa.







[1] Abu Abdillah Arief Budiman, Sekilas Hibah, Wasiat dan Warisa, http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/, diakses pada tanggal 18 Februari 2010.
[2] Mufti,Tafsir Ahkam Wasiat, http://mufti2013.blogspot.com/2011/03/tafsir-ahkam-wasiat.html, diakses pada tanggal 24 Desember 2011.
[3] Abdullah Yusf Ali, Tafsir Yusuf Ali terjemahan Ali Audah. Jilid.I, (Bogor:PT.Pusaka Litera Antar Nusa, 2009). hal. 184.
[4] ‘Aidh al Qarni,Tafsir Muyassar, (Jakarta:PT.Qisthi Press, 2007), hal. 358.
[5] Ibid,. hal. 359
[6] Ibid,. hal. 361-362
[7] Ibid,. hal. 365
[8] Abdullah Yusf Ali, Tafsir Yusuf Ali,. hal. 193.

[9] ‘Aidh al Qarni, Tafsir Muyassar,. hal. 381-382.
[10] Ibid,. hal. 482-483
[11] Ibid,. hal. 138
[12] Ibid,. hal. 138-139
[13] Ibid,. hal. 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar