BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai
permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia.
Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum
dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan
Maka
dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah
Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan
tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Istilah
jinayat (jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at Islam, jinayah ini
bermacam-macam jenis dan sebabnya.
Hukum
Jinayah Islam yang bertindak sebagai pencegahan kepada setiap manusia, dan
tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka
dari itu adanya Hudud bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah
alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan
Ilahi.
Walaupun
dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang
apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan
hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang jinayah dan
hudud.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian jinayah, hudud dan ta’zir ?
2.
Apa saja yang termasuk dalam jinayah, hudud dan ta’zir
?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah
ini agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang jinayah, hudud, dan ta’zir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jinayah, Hudud, Ta’zir
Jinayat
berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengambil. Syekh Muhammad bin Qosim
mengatakan dalam fathul qorib bahwa jinayat itu kata yang lebih umum
dari pencurian, pembunuhan, zina dan lain-lain. Atau dapat kita artikan
kejahatan atau kriminal. Sedangkan jinayat menurut syara’
adalah semua pekerjaan yang di haramkan.[1]
Jinayah
adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan
kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda.
Kata jinayah berasal dari kata jana-yajni yang
berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan,
pidana atau kriminal. Jinayah dalam pengertian ini sama artinya dengan kata
jarimah yang sering digunakan oleh para fukaha(ahli fikih) di dalam
kitab-kitab fikih
Pada
dasarnya Allah sangatlah memuliakan manusia lebih dari makhluk yang lain. Hal
ini dapat terlihat dari diperintahkannya malaikat dan iblis untuk bersujud
kepada manusia, yaitu Nabi Adam. Dan juga dijadikannya manusia sebagai kholifah
atau pemimpin yang mempunyai tanggung jawab akan keseimbangan alam di muka bumi
ini.
Maka
dari itu, wajib untuk setiap manusia untuk senantiasa menghargai hak-hak
dirinya dan juga menghargai hak-hak orang lain. Allah SWT memberikan perintah
agar manusia selalu menjaga hak-hak dirinya pribadi dengan ayat :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya
: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS.
Al-Baqarah:195)
Pada
dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Dikalangan fuqoha’, kata jinayah berarti perbuatan perbuatan yang
dilarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya, fuqoha’ menggunakan
istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat
foqoha’ yang membatasi istilah jinayah pada perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain
yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu
larangan-laragan syara’ yang diancam Allah dengan
hukuman had atau ta’zir.[2]
Tujuan
umum dari ketentuan yang ditetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan
untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan mamfaat bagi manusia, maupun
menghindarkan kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Dalam hal ini Allah
menghendaki terlepasnya manusia dari segala bentuk kerusakan.[3]
Hudud adalah
bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi
di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti cegahan (al-man’u).
Adapun
menurut syar’i, Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan
sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya
pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd
telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena
adanya pengampunan atau kompromi.
Hudud
adalah kejahatan/jinayah yang sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti
oleh Allah dan/atau Nabi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pencurian,
perampokan, perzinaan, tuduhan zina tanpa bukti, minum minuman keras, maker/
pemberontakan dan murtad.[4]
Takzir
secara harfiah berarti membinaskan pelaku criminal karena prilaku yang
memalukan.[5]
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata
“azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan
dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh
Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan
atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa
ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah
ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak
pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah
ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman
had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim.
Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya
untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada
hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk
menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[6]
Dalam takzir, hukuman itu tidak diterapkan dengan
ketentuan hokum, dan hakim diperkenankan mempertimbangkan baik bentuk ataupun
hukuman yang akan dikenakan. Bentuk hukuman dengan kebijaksanaan ini diberikan
dengan pertimbangan khusus tentang berbagai factor yang mempengaruhi perubahan
social dalam peradaban manusia dan bervariasi berdasarkan metode yang digunakan
pengadilan ataupun jenis pidana yang dapat ditujukkan dalam undang-undang.
Pelanggaran yang dapat dihukum dengan metode ini adalah yang menggangu
kehidupan, harta serta kedamaian dan ketentraman masyarakat. Sruktur umum hokum
pidana kaum muslimin masa kini didasarkan pada prinsip-prinsip ta’zir. Dengan
kata lain bentuk ta’zirat yang dikenakan oleh hakim itu sendiri, baik untuk
pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan, ataupun bagi prasangka yang
dilakukan terhadap tetangga. Hukuman itu dapat berupa cambukan, kurungan,
penjara, denda, peringatan dan lain-lain.[7]
B.
Pembagian Jinayah, Hudud, Ta’zir
Perbuatan-perbuatan
manusia dapat dikategorikan sebagi jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut
diancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut dari syara’, maka
larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat.
Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab).
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan anak kecil atau orang gila tidak dapat
dikategorikan sebagai jinayah, karena tidak dapat menerima khithab atau
memahami taklif.
Dari
penjelasan tersebut dapat ditarik unsur atau rukun jinayah, unsur atau rukun
jinayah tersebut adalah:
a.
Adanya nash,
yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas
perbuatan-perbuatan diatas.unsur ini dikenal dengan unsur formal (al ruknu
al-syar’i).
b.
Adanya perbuatn
yang membentuk jinayah, baik melakukan perbuatan yang dilarang atau meniggalkan
perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu
al-madi).
c.
Pelaku kejahatan
adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif. Unsur ini
dikenal dengan unsur material (al-ruknu al-adabi).[8]
Para ulama
mengelompokkan jinayah itu dengan melihat kepada sanksi hukuman apa yang
ditetapkan, yaitu :[9]
1.
Diyat (Denda)
Denda
pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Diyat
ada dua macam, yaitu
a.
Diyat
Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor
unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk
lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
b.
Diyat
Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu
20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga
tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina
umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang
membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah
dari Diyat ada tiga, yaitu:
a.
mencegah
kejahatan terhadap jiwa dan raga
b.
obat pelipur
lara korban
c.
timbulnya
ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat
2.
Kifarat
Tebusan
dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syari’at Islam
karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam
kifarat ada dua, yaitu:
a.
Kifarat karena pembunuhan,
yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa selama 2 bulan
berturut-turut.
b.
Kifarat karena
melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi
pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari
3.
Hudud
Sanksi
bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau dengan
dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan
yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a.
Zina
b.
Qadzaf (menuduh
orang berbiat zina)
c.
Minuman keras
d.
Mencuri
4.
Ta’zir
Apabila
seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum
atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang tidak ditetapkan
hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan).
Disamping
itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi
kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.
Jarimah ta’zir
yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab,
atau oleh keluarga sendiri.
2.
Jarimah ta’zir
yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan,
seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.
Jarimah ta’zir
yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas[10]
Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Burdah :
عن
ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا يجلد
احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah
saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan
hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina
dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)[11]
Penjelasan
hadis
a.
Untuk selain
dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum
pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.
Ini berarti
hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan
hakim.
c.
Orang yang
dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di
atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir.
Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya
karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan
demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang
sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti
dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul
yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar
hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan
lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan
lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut
dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir
yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[12]
d.
Yang dimaksud
had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan
dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan
yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir
sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya[13].
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan
atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa,
akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari
kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering
pula diartikan kejahatan, pidana atau criminal.
Hudud adalah kejahatan/jinayah yang
sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan/atau Nabi.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pencurian, perampokan, perzinaan,
tuduhan zina tanpa bukti, minum minuman keras, maker/ pemberontakan dan murtad.
Ta’zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan
oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir.
Jinayah
/ jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman dibagi menjadi
a.
Jarimah
hudud,yang meliputi : Perzinaan, Qadzaf (menuduh berbuat zina), Meminum minuman
keras, Pencurian , Perampokan
b.
Jarimah
qishas/diyat, yang meliputi : pembunuhan sengaja pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan karena kesalahan. Peluka an sengaja, pelukaan semi sengaja
c.
Jarimah ta’zir
DAFTAR PUSTAKA
Bahreisj.
Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983
Bahreisj.Hussein
Khallid, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987
Doi
. A.Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta:Raja Grafindo,2002
Muslich.
Ahmag Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005
Syaifuddin.
Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta:Kencana, 2003
[1] Granita Hajar, Jinayah
dan Hudud, http://granitahajar.blogspot.com/2012/09/jinayat-qishash-diat-hudud-kafarat-dan.html,
diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[2] Fathul Mu’in, Makalah
Jinayat, http://blitarq-doel.blogspot.com/2012/11/makalah-jinayat_8.html,
diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[6] Eka Aqila, Makalah
Ta’zir, http://ekaaqila.blogspot.com/2013/05/makalah-fiqih-tazir.html,
diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[8] _____, Jinayah
dan Hudud, http://blitarq-doel.blogspot.com/2012/11/makalah-jinayat_8.html,
diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[9] _______, Pengertian
dan Pembagian Jinayah, http://boxriborn.blogspot.com/2013/08/pengertian-dan-macam-macam-jinayah_5383.html#ixzz3Sv0hXIjN,
diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[12] Hussein
Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[13] Saleh
al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar