Minggu, 08 Maret 2015

Jinayat dan Hudud

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam literatur masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai kekuatan hukum dengan berbagai macam sangsi. Sangsi yang diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
Maka dari itu, dalam hukum Islam diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai preventif (pencegahan) kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Istilah jinayat (jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at Islam, jinayah ini bermacam-macam jenis dan sebabnya.
Hukum Jinayah Islam yang bertindak sebagai pencegahan kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Maka dari itu adanya Hudud bukan sebagai tindakan yang sadis namun ini sebuah alternatif demi terciptanya hidup dan kehidupan yang sesuai dengan Sunnah dan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang jinayah dan hudud.
B.            Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian jinayah, hudud dan ta’zir ?
2.    Apa saja yang termasuk dalam jinayah, hudud dan ta’zir ?
C.           Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang jinayah, hudud, dan ta’zir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Jinayah, Hudud, Ta’zir
Jinayat berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengambil. Syekh Muhammad bin Qosim mengatakan dalam fathul qorib bahwa jinayat itu kata yang lebih umum dari pencurian, pembunuhan, zina dan lain-lain. Atau dapat kita artikan kejahatan atau kriminal. Sedangkan jinayat menurut syara’ adalah  semua pekerjaan yang di haramkan.[1]
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal. Jinayah dalam pengertian ini sama artinya dengan kata jarimah yang sering digunakan oleh para fukaha(ahli fikih) di dalam kitab-kitab fikih
Pada dasarnya Allah sangatlah memuliakan manusia lebih dari makhluk yang lain. Hal ini dapat terlihat dari diperintahkannya malaikat dan iblis untuk bersujud kepada manusia, yaitu Nabi Adam. Dan juga dijadikannya manusia sebagai kholifah atau pemimpin yang mempunyai tanggung jawab akan keseimbangan alam di muka bumi ini.
Maka dari itu, wajib untuk setiap manusia untuk senantiasa menghargai hak-hak dirinya dan juga menghargai hak-hak orang lain. Allah SWT memberikan perintah agar manusia selalu menjaga hak-hak dirinya pribadi dengan ayat :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya : “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah:195)
Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqoha’, kata jinayah berarti perbuatan perbuatan yang dilarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya, fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat foqoha’ yang membatasi istilah jinayah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-laragan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.[2]
Tujuan umum dari ketentuan yang ditetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan mamfaat bagi manusia, maupun menghindarkan kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Dalam hal ini Allah menghendaki terlepasnya manusia dari segala bentuk kerusakan.[3]
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti cegahan (al-man’u).
Adapun menurut syar’i, Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
Hudud adalah kejahatan/jinayah yang sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan/atau Nabi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan zina tanpa bukti, minum minuman keras, maker/ pemberontakan dan murtad.[4]
Takzir secara harfiah berarti membinaskan pelaku criminal karena prilaku yang memalukan.[5]
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[6]
Dalam takzir, hukuman itu tidak diterapkan dengan ketentuan hokum, dan hakim diperkenankan mempertimbangkan baik bentuk ataupun hukuman yang akan dikenakan. Bentuk hukuman dengan kebijaksanaan ini diberikan dengan pertimbangan khusus tentang berbagai factor yang mempengaruhi perubahan social dalam peradaban manusia dan bervariasi berdasarkan metode yang digunakan pengadilan ataupun jenis pidana yang dapat ditujukkan dalam undang-undang. Pelanggaran yang dapat dihukum dengan metode ini adalah yang menggangu kehidupan, harta serta kedamaian dan ketentraman masyarakat. Sruktur umum hokum pidana kaum muslimin masa kini didasarkan pada prinsip-prinsip ta’zir. Dengan kata lain bentuk ta’zirat yang dikenakan oleh hakim itu sendiri, baik untuk pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan, ataupun bagi prasangka yang dilakukan terhadap tetangga. Hukuman itu dapat berupa cambukan, kurungan, penjara, denda, peringatan dan lain-lain.[7]
B.            Pembagian Jinayah, Hudud, Ta’zir
Perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagi jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut dari syara’, maka larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan anak kecil atau orang gila tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah, karena  tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik unsur atau rukun jinayah, unsur atau rukun jinayah tersebut adalah:
a.              Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas.unsur ini dikenal dengan unsur formal (al ruknu al-syar’i).
b.             Adanya perbuatn yang membentuk jinayah, baik melakukan perbuatan yang dilarang atau meniggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu al-madi).
c.              Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu al-adabi).[8]
Para ulama mengelompokkan jinayah itu dengan melihat kepada sanksi hukuman apa yang ditetapkan, yaitu :[9]
1.             Diyat (Denda)
Denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu
a.              Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
b.             Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu 20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah dari Diyat ada tiga, yaitu:
a.              mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga
b.             obat pelipur lara korban
c.              timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat
2.             Kifarat
Tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:
a.              Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
b.             Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari
3.             Hudud
Sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a.              Zina
b.             Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
c.              Minuman keras
d.             Mencuri
4.             Ta’zir
Apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan).
Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.             Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.             Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.             Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas[10]
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :  لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)[11]
Penjelasan hadis
a.              Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.             Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim.
c.              Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[12]
d.             Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya[13].


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata jana-yajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau criminal.
Hudud adalah kejahatan/jinayah yang sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan/atau Nabi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan zina tanpa bukti, minum minuman keras, maker/ pemberontakan dan murtad.
Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir.
Jinayah / jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman dibagi menjadi
a.              Jarimah hudud,yang meliputi : Perzinaan, Qadzaf (menuduh berbuat zina), Meminum minuman keras, Pencurian , Perampokan
b.             Jarimah qishas/diyat, yang meliputi : pembunuhan sengaja pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan. Peluka an sengaja, pelukaan semi sengaja
c.              Jarimah ta’zir



DAFTAR PUSTAKA

Bahreisj. Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983
Bahreisj.Hussein Khallid, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987
Doi . A.Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, Jakarta:Raja Grafindo,2002
Muslich. Ahmag Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005
Syaifuddin. Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta:Kencana, 2003







[1] Granita Hajar, Jinayah dan Hudud, http://granitahajar.blogspot.com/2012/09/jinayat-qishash-diat-hudud-kafarat-dan.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[2] Fathul Mu’in, Makalah Jinayat, http://blitarq-doel.blogspot.com/2012/11/makalah-jinayat_8.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[3] Amir Syaifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2003), hal.253
[4] Ibid,. hal 256
[5] A.Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta:Raja Grafindo,2002), hal.295.
[6] Eka Aqila, Makalah Ta’zir, http://ekaaqila.blogspot.com/2013/05/makalah-fiqih-tazir.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[7] A.Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, …………, hal.295.
[8] _____, Jinayah dan Hudud, http://blitarq-doel.blogspot.com/2012/11/makalah-jinayat_8.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[9] _______, Pengertian dan Pembagian Jinayah, http://boxriborn.blogspot.com/2013/08/pengertian-dan-macam-macam-jinayah_5383.html#ixzz3Sv0hXIjN, diakses pada tanggal 2 Maret 2015.
[10] Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hlm. 255
[11] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[12] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[13] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar