Minggu, 08 Maret 2015

Peradilan dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Keadilan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh setiap manusia, karena dengan keadilan kita bias memiliki kesamaan hak di mata hokum. Di Indonesia banyak sekali lembaga peradilan baik itu yang bersifat pengadilan agama ataupun pengadilan negeri.
System hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di negara republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke-7 Masehi tata hukum Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam.
B.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan badan peradilan ?
2.      Bagaimana peradilan agama di Indonesia ?
3.      Bagaimana wewenang dan kompetensinya ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Kedudukan Badan Peradilan
Kata peradilan berasal dari kata adil, dengan awalan per dan akhiran an. Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha yang artinya memutuskan, melaksanakan, dan meyelesaikan.
Dalam Islam peradilan disebut qadha yang berarti menyelesaikan, disamping menyelesaikan dan menunaikan seperti diatas, qadha dapat pula berarti memutuskan hukum atau menetapkan suatu ketetapan.[1]
Lembaga penegakan hukum di Indonesia disebut pengadilan atau badan peradilan. Alat perlengkapan negara yang diberi tugas mempertahankan tetap tegaknya hukum nasional disebut pengadilan atau lembaga peradilan. Menjalankan peradilan dengan seadil-adilnya merupakan tugas pengadilan. Menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya adalah tugas pokok badan-badan peradilan. Peranan lembaga peradilan merupakan bagian integral dalam rangkaian mewujudkan cita-cita dan tujuan RI dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Benteng terakhir untuk mencari keadilan dan sebagai pelaksana cita-cita negara hukum merupakan peranan lembaga peradilan juga, sebagaimana diamanatkan oleh UUD RI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: "Indonesia adalah negara hukum". Oleh sebab itu, prinsip peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan.[2]
Lembaga peradilan dalam satuan penegak hukum adalah Hakim, selaku mitra kerja dari Kepolisian dan Kejaksaan dalam rangkaian sistem peradilan pidana. Sebagai satu kesatuan sistem, Hakim memiliki keterkaitan yang tidak dapat terpisahkan dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Lembaga peradilan di Indonesila memiliki kedudukan yang independen yang tidak memihak, di Indonesia sendiri badan peradilan memiliki beberapa bagian yang jika dilihat dari lingkup wilayah kontekstualnya. Kedudukan badan peradilan yang tertinggi di Indonesia adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
a.              Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
1.             Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
2.             Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
3.             Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
b.             Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam system ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
1.             Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
2.             memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
3.             memutus pembubaran partai politik,
4.             memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
5.             Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.[3]
B.            Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu menangani golongan rakyat tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Pengadilan agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan untuk orang-orang Islam di Indonesia, serta dalam perkara perdata Islam tertentu dan tidak mencangkup seluruh perdata Islam.[4]
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-perkara:
a.              Perkawinan;
b.             Waris;
c.              Wasiat;
d.             Hibah;
e.              Wakaf;
f.              Zakat;
g.             Infaq;
h.             Shadaqah; dan
i.               Ekonomi Syari'ah.
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
Fungsi;
Untuk   melaksanakan   tugas  -  tugas   pokok   tersebut  Pengadilan  Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.              Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing
b.             Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya
c.              Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum.
d.             Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
e.              Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ;
f.               Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta lain sebagainya,  seperti  diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991[5]
C.           Wewenang dan Kompetensinya
Wewenang Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.[6]
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat dilingkungan Peradilan Agama, yaitu :
a.              Fungsi kewenangan mengadili
b.             Memberi keterangan, pertimbangan
c.              Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
d.             Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif
e.              Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan[7]
1.             Kompetensi Relatif  Peradilan Agama
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif  ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “ actor sequitur forum rei” , namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2),ayat (3) dan ayat (4), yaitu :
a.              Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
b.             Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
c.              Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.
d.             Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam akta tersebut.
2.       Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Pasal 10 UU No. 7 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan peradilan dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :
a.              Perkawinan
b.             Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam
c.              Wakaf dan sedekah.
Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu, menurut Prof. Busthanul Arifin, perdilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, seperti yang terdapat dibeberapa negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara dibidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi olehpara hakim, panitera dan sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.[8]
Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan
Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, pasal 49 ayat (2).Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
    1.          Izin beristri lebih dari seorang;
    2.          Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
    3.          Dispensasi kawin;
    4.          Pencegahan perkawinan;
    5.          Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
    6.          Pembatalan perkawinan;
    7.          Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
    8.          Perceraian karena talak;
    9.          Gugatan perceraian;
10.          Penyelesian harta bersama;
11.          Penguasaan anak-anak;
12.          Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13.          Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau  penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.          putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15.          putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.          pencabutan kekuasaan wali;
17.          penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18.          menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19.          pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.          penetapan asal usul seorang anak;
21.          putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.          pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
23.          Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu: Penetapan Wali Adlal;
24.          Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
Kewenangan Mengadili Perkara Bidanag Kewarisan, Wasiat, dan Hibah
Menurut pasal 49 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasal 49 ayat (1) huruf b, adalah mengenai :
a.              Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
b.             Penentuan harta peninggalan
c.              Bagian masing-masing ahli waris dan
d.             Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
Dalam pasal 2 jo. pasal 49 ayat (1) jo. penjelasan umum angka 2 alinea ketiga telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini dengan ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf b, jo. penjelasan umum angka 2 alinea tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam hal ini terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan kelingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama islam terkecuali.[9]
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3) jo penjelasan umum angka 2 alinea keenam. Jadi uraian singkat dari ketentuan pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris islam yangakan diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam diperadilan agama terdiri atas :
1.             Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris.
2.             Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
3.             Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad, dan
4.             Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah
Pasal 1 ayat(1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran islam yang telah menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[10]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Lembaga peradilan di Indonesila memiliki kedudukan yang independen yang tidak memihak, di Indonesia sendiri badan peradilan memiliki beberapa bagian yang jika dilihat dari lingkup wilayah kontekstualnya.
Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama
Wewenang Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolute.


DAFTAR PUSTAKA

Djalil . Basiq HA., Peradilan Islam, Jakarta: AMZAH, 2012
Harahap. M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, Jakarta: Pustaka Kartini 1993,
Sutantio. Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996,.
Lubis,.Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di indonesia, Jakarta: Kencana,2005




[1] HA. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2012), hal. 3
[2] Sangkono, Lembaga Peradilan, http://sangkoeno.blogspot.com/2012/10/kedudukan-lembaga-peradilan.html, diakses pada tanggal 4 Maret 2015.
[3] Farah Fitriani, Kedudukan Lembaga Peradilan, https://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/peradilan-di-indonesia/, diakses pada tanggal 5 Maret 2015.
[4] HA. Basiq Djalil, Peradilan Islam,……………. hal. 3
[5] Pengadilan Agama, Tugas dan Fungsi Pradilan, http://www.pa-batang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118&Itemid=117, diakses pada tanggal 5 Maret 2015.
[6] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini), 1993, hal. 134
[7] Ibid,. hal.135
[8] Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Gema insani Press), 1996, hal. 11.
[9] M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan, ……... hal. 147-148
[10] Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), h.101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar