Kamis, 13 November 2014

Filsafat Ibnu Khaldun

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pemikiran Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun dalam buku Muqaddimah bahwa, Barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencangkup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.[1]
Pendidikan menurut Ibn Khaldun mempuyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia secara sadar menagkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.[2]
Menurut Ibn Khaldun, ilmu pengetahuan ada dua macam, yaitu ilmu yang menjadi tujuan dan ilmu alat untuk memahami ilmu-ilmu yang menjadi tujuan tersebut. Ilmu-ilmu yang menjadi tujuan itu menurut Ibn Khaldun adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu fisika, teologi dan filsafat. Sedangkan yang termasuk dalam kategori ilmu alat adalah ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu ushul al fiqh, ilmu mantiq dan lain-lain.[3]
Ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu dalam dua jenis ilmu poko naqliyah dan aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang bedasarkan wahyu dan ilmu aqliyah adalah ilmu yang bedasarkan rasio.[4]
Pendapat pendidikan menurut Ibn Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agam dan moral.
B.            Tujuan Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik. Secara rinci Ibn Khaldun membagi tujuan pendidikan dalam beberapa hal: a) memberi peluang kepada anak didik untuk mampu berpikir dan berbuat dengan benar; b) memberikan peluang untuk hidup yang berkualitas dalam masyarakat maju; c) memberikan kemampuan unutk mendapatkan pekerjaan sebagai sumber penghasilan; d) dapat mengembangkan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari.[5]
Ibn Khaldun tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana perolehan ilmu ansich, melainkan pendidikan dipandang sebagai investasi masa depan dan memiliki keterkaitan dengan pekerjaan disamping tentu saja pembentukan kepribadian dan pembimbing menuju berpikir dan berbuat yang benar.[6]
Sebagaimana filosof lain mengklasifikasikannya ada beberapa tingkatan akal, yaitu: a) akal pembeda, akal ini yakni berfungsi sederhana, yaitu hanya mampu membedakan masalah-masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari seperti membedakan antara makanan yang layak dimakan dan yang tidak; b) akal empiric yaitu akal yang mampu memahami suatu masalah yang terjadi secara empiric dalam masyarakat. Seperti memahami mengapa pekerbangan ilmu berkaitan dengan kemakmuran, mengapa sikap emosional dapat memicu konflik dan tindakan kekerasan yang tidak terkenadali; c) akal teoritik yaitu akal yang dapat mengetahui melalui hipotesis dan pengujian, sehingga mampu menemukan suatu teori.[7]
Adapun tujuan pengajaran ada dua yaitu :
1.             Tujuan yang diraih oleh setiap ilmu dan
2.             tujuan umum yang diraih oleh seluruh ilmu, tidak ada perbedaan antara ilmu yang satu dengan yang lain.
Adapun tujuan akhir yang dicapai oleh setiap siswa dengan karakter umumnya adalah perolehan keutamaan.[8]
C.           Kurikulum dan Materi Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Kurikulum Ibn Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi dinegara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari Al Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan Al Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena Al Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari Al Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syai’r, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Afrika, mereka mengkombinasikan pengajaran Al Qur’an dengan hadist dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.[9]
Materi pendidikan merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikaskan ilmu pengetahuan yang banyak dpelajari manusia pada waktu itu ada dua macam :
1.             Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari Al qur’an dan hadist yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini bedasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari Al Qur’an dan hadist. Adapun yang termasuk dalam ilmu naqliyah adalah ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadist, ilmu ushul fiqh, ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta;bir mimpi.
2.             Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (aqliyah)
Ilmu bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berpikir. Ilmu ini memiliki semua anggota masyarakatnya didunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia didunia. Menurut Ibn Khaldun ilmu-ilmu filsafat ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu; ilmu logika, ilmu fisika, ilmu metafisika, dan ilmu matematika.[10]
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibn Khaldun membagi ilmu bedasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan bedasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah :
1.             Ilmu agama, yang terdiri dari tafsir, hadist, fiqh, dan ilmu kalam
2.             Imu aqliyah yang terdiri dari ilmu kalam, fisika, dan ilmu ketuhanan
3.             Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu lain yang mempelajari agama.
4.             Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.[11]
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pegetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pegetahuan yang terakhir ( ilmu alat )adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pegetahuan gologan pertama.[12]
Mengenai sarana dan media pembelajaran, Ibn Khaldun membagi dalam dua bagian, yakni :
1.             Media yang ditolak Ibn Khaldun, yaitu media yang buka karena metode itu sendiri, melainkan karena tujuan yang diketahui membawa resiko, seperti : banyaknya referensi, banyaknya ringkasan, menghindar dari permulaan pembelajaran yang menyulitkan, tidak ada ringkasan satu buku, memperpanjang pertemuan dan seterusnya.
2.             Media membawa nilai positif seperti memulai dengan pengajaran umum (global) kemudian kearah yang teperinci, meringkas satu mata pelajaran, mengajak berpikir yang alami, dan seterusnya.[13]
Memperbanyak referensi bagi anak didik pada level awal (SD) menurut Ibn Khaldun dapat membingungkan dan menyulitkan mereka, karena dengan memperbanyak referensi akan menimbulkan perbedaan istilah (pendapat), dan dari referensi yang beraneka ragam akan menimbulkan banyak metode, yang pada akhirnya merepotkan anak didik, sementara hasil dan tujuan yang dicapai adalah satu, yaitu perolehan ilmu.[14]
D.           Metode Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Pedidikan anak menurut ibn khaldun hendaknya dilakuakan secara bertahap, darisatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi sejalan dengan kemampuan akal seseorang, sesuai dengan ketetapan nabi,yaitu ajarilah anak-anakmu sesuai kadar kemampuannya.[15]
Guru hendaknya memiliki beberapa sikap : kasih saying, lemah lembut dan memahami kondisi jiwa peserta didik, tidak sebaliknya, berlaku kasar dan menakutkan, karena sikap tersebut akan membentuk peserta didik berlaku negative, seperti bohong, malas, pasif, pura-pura. Ibn Khaldun setuju dengan hukuman tetapi harus dilakukan secara adil dan merupakan pilihan terakhir dalam mengatasi masalah peserta didik. Bahkan Ibn Khaldun memberikan batasan dalam hukuman kalaupun harus menghukum mereka tidak boleh lebih dari tiga “pukulan”. Disinilah menurut Ibn Khaldun, perilaku, dan teladan guru lebih penting ketimbang ceramah-ceramah atau perintah-perintah, karena anak didik lebih mudah meniru apa yang dilakukan guru daripada ceramah atau keterangan-keterangannya. Fungsi guru menurut Ibn Khaldun tidak hanya sebagai pengajar bidang studi melainkan juga berfungsi sebagai pemimpin yang mengarahkan dan mampu membuat perubahan-perubahan positif ke masa depan.[16]
Menurut Ibn Khaldun, untuk memperluas ilmu pengetahuan perlu membuat jaringan intelektual, pembelajaran di luar kelas (tatap muka). Tujuannya untuk memperlluas jaringan keilmuan di berbagai wilayah dan kawasan. Menurut Ibn Khaldun, pengajaran tidak selamanya disampaikan melalui ceramah, tetapi perlu ada metode praktik langsung, metode tersebut oleh Ibn Khaldun dianggap lebih mengena dan lebih merasuk.[17]
Ibn Khaldun tidak menyukai pembelajaran dengan menggunakan sistem hafalan, karena dianggap tidak efektif dan efesien. Hal ini telah dibuktikan dengan riset yang pernah dilakukan di Maroko dan Tunis. Di Maroko pendidikan Dasar ditempuh 16 tahun sementara di Tunis 5 tahun. Tetapi hasil yang dicapai sama saja. Di Maroko metode yang digunakan bersifat verballistik, hafalan, sementara di Tunis menggunakan metode diskusi, dialog, dan demonstrative.[18]
Konsep pendidikan Ibn Khaldun sejalan dengan konsep pendidikan yang dibangun oleh tokoh –tokoh pendidikan modern dari pestalozi hingga tokoh pendidikan kini ( kontemporer ). Dalam konsep pembelajaran ‘’bertahap ‘’dari melalui yang umum ( global ) menuju yang terinji(parsial)sesuai dengan konsep pegajaran gestal.[19]
Ibn Khaldun mengkritik para pendidikan (guru) yang tidak memahami metode mengajar dengan baik, misalnya memaksakan anak didik untuk memforsir tenaga dan pikirannya. Itulah, maka Ibn Khaldun meyarankan untuk tidak terlalu lama dalam pemberian bimbigan secara lemah lembut dan kasih sayang kepada anak didik /alias tidak berlaku kasar dan kejam /sebab hal ini terkait dengan pembentukan karakter anak. Ada pun metode yang membawa pengaruh positif terhadap pengajar adalah : memulai dengan yang umum (global) ini penting, sebab secara naluri, manusia melihat sesuatu berangkat dari yang umum dulu, baru setelah itu sampai pada yang di talil –ditalil. Ibn Khaldun juga menyarankan agar ilmu yang diberikan kepada anak didik berangkat dari satu disiplin ilmu. Beliau menjelaskan : aliran yang bagus dan metode yang demikian itu tidak akan memperoleh hasil yang maksimal ...’’[20]



[1] Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Muqaddimah (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2013), hal. 11
[2] Ibid,.
[3] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer ( Malang : UIN Malang Press, 2009), hal. 247
[4] Ibid,.
[5] Ibid,. hal 248
[6] Ibid,.
[7] Ibid,. hal. 248-249
[8] Ibid,. hal 253
[9] [9] Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, hal. 12
[10] Ibid,. hal. 12-13.
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[13] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hal. 252
[14] ibid,.
[15] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hal. 249.
[16] Ibid,. hal. 250
[17] Ibid,.
[18] Ibid,. 251
[19] Ibid,.
[20] Ibid,. hal. 253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar