BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun dalam buku
Muqaddimah bahwa, Barang siapa tidak
terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya
barangsiapa tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan
bersama melalui orang tua mereka yang mencangkup guru-guru dan para sesepuh,
dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan
bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengajarkannya.[1]
Pendidikan menurut Ibn Khaldun mempuyai
pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu
proses, dimana manusia secara sadar menagkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.[2]
Menurut Ibn Khaldun, ilmu pengetahuan
ada dua macam, yaitu ilmu yang menjadi tujuan dan ilmu alat untuk memahami
ilmu-ilmu yang menjadi tujuan tersebut. Ilmu-ilmu yang menjadi tujuan itu
menurut Ibn Khaldun adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu
fisika, teologi dan filsafat. Sedangkan yang termasuk dalam kategori ilmu alat
adalah ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu ushul al fiqh, ilmu mantiq dan lain-lain.[3]
Ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu
dalam dua jenis ilmu poko naqliyah dan aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang
bedasarkan wahyu dan ilmu aqliyah adalah ilmu yang bedasarkan rasio.[4]
Pendapat pendidikan menurut Ibn Khaldun
tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni
aspirasi yang bernafaskan agam dan moral.
B.
Tujuan
Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk
menanamkan keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai
moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik. Secara
rinci Ibn Khaldun membagi tujuan pendidikan dalam beberapa hal: a) memberi
peluang kepada anak didik untuk mampu berpikir dan berbuat dengan benar; b)
memberikan peluang untuk hidup yang berkualitas dalam masyarakat maju; c)
memberikan kemampuan unutk mendapatkan pekerjaan sebagai sumber penghasilan; d)
dapat mengembangkan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari.[5]
Ibn Khaldun tidak hanya memandang
pendidikan sebagai sarana perolehan ilmu ansich, melainkan pendidikan dipandang
sebagai investasi masa depan dan memiliki keterkaitan dengan pekerjaan
disamping tentu saja pembentukan kepribadian dan pembimbing menuju berpikir dan
berbuat yang benar.[6]
Sebagaimana filosof lain
mengklasifikasikannya ada beberapa tingkatan akal, yaitu: a) akal pembeda, akal
ini yakni berfungsi sederhana, yaitu hanya mampu membedakan masalah-masalah
sederhana dalam kehidupan sehari-hari seperti membedakan antara makanan yang
layak dimakan dan yang tidak; b) akal empiric yaitu akal yang mampu memahami
suatu masalah yang terjadi secara empiric dalam masyarakat. Seperti memahami
mengapa pekerbangan ilmu berkaitan dengan kemakmuran, mengapa sikap emosional
dapat memicu konflik dan tindakan kekerasan yang tidak terkenadali; c) akal
teoritik yaitu akal yang dapat mengetahui melalui hipotesis dan pengujian,
sehingga mampu menemukan suatu teori.[7]
Adapun tujuan pengajaran ada dua yaitu :
1.
Tujuan yang
diraih oleh setiap ilmu dan
2.
tujuan umum yang
diraih oleh seluruh ilmu, tidak ada perbedaan antara ilmu yang satu dengan yang
lain.
Adapun tujuan akhir yang dicapai oleh
setiap siswa dengan karakter umumnya adalah perolehan keutamaan.[8]
C.
Kurikulum
dan Materi Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Kurikulum Ibn Khaldun mencoba
membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum
pada tingkat rendah yang terjadi dinegara-negara Islam bagian Barat dan Timur.
Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib,
bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada
mempelajari Al Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang
Andalusia, mereka menjadikan Al Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya,
karena Al Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga
mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari Al Qur’an saja,
akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syai’r, karang
mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian
pula dengan orang-orang Afrika, mereka mengkombinasikan pengajaran Al Qur’an
dengan hadist dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.[9]
Materi pendidikan merupakan salah satu
komponen operasional pendidikan, maka dalam merupakan salah satu komponen
operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikaskan
ilmu pengetahuan yang banyak dpelajari manusia pada waktu itu ada dua macam :
1.
Ilmu-ilmu
tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari
Al qur’an dan hadist yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan
cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini bedasarkan
kepada otoritas syari’at yang diambil dari Al Qur’an dan hadist. Adapun yang
termasuk dalam ilmu naqliyah adalah ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadist, ilmu
ushul fiqh, ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu
ta;bir mimpi.
2.
Ilmu-ilmu
filsafat atau rasional (aqliyah)
Ilmu bersifat alami bagi manusia, yang
diperolehnya melalui kemampuannya untuk berpikir. Ilmu ini memiliki semua anggota
masyarakatnya didunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat
manusia didunia. Menurut Ibn Khaldun ilmu-ilmu filsafat ini dibagi menjadi
empat macam ilmu yaitu; ilmu logika, ilmu fisika, ilmu metafisika, dan ilmu
matematika.[10]
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibn
Khaldun membagi ilmu bedasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat
macam, yang masing-masing bagian diletakkan bedasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah :
1.
Ilmu agama, yang
terdiri dari tafsir, hadist, fiqh, dan ilmu kalam
2.
Imu aqliyah yang
terdiri dari ilmu kalam, fisika, dan ilmu ketuhanan
3.
Ilmu alat yang
membantu mempelajari ilmu agama yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung
dan ilmu lain yang mempelajari agama.
4.
Ilmu alat yang
membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.[11]
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok
ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pegetahuan yang dipelajari karena
faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pegetahuan yang terakhir ( ilmu
alat )adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pegetahuan gologan pertama.[12]
Mengenai sarana dan media pembelajaran,
Ibn Khaldun membagi dalam dua bagian, yakni :
1.
Media yang
ditolak Ibn Khaldun, yaitu media yang buka karena metode itu sendiri, melainkan
karena tujuan yang diketahui membawa resiko, seperti : banyaknya referensi,
banyaknya ringkasan, menghindar dari permulaan pembelajaran yang menyulitkan,
tidak ada ringkasan satu buku, memperpanjang pertemuan dan seterusnya.
2.
Media membawa
nilai positif seperti memulai dengan pengajaran umum (global) kemudian kearah
yang teperinci, meringkas satu mata pelajaran, mengajak berpikir yang alami,
dan seterusnya.[13]
Memperbanyak referensi bagi anak didik
pada level awal (SD) menurut Ibn Khaldun dapat membingungkan dan menyulitkan
mereka, karena dengan memperbanyak referensi akan menimbulkan perbedaan istilah
(pendapat), dan dari referensi yang beraneka ragam akan menimbulkan banyak
metode, yang pada akhirnya merepotkan anak didik, sementara hasil dan tujuan
yang dicapai adalah satu, yaitu perolehan ilmu.[14]
D.
Metode
Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Pedidikan anak menurut ibn khaldun
hendaknya dilakuakan secara bertahap, darisatu tingkat ke tingkat yang lebih
tinggi sejalan dengan kemampuan akal seseorang, sesuai dengan ketetapan
nabi,yaitu ajarilah anak-anakmu sesuai kadar kemampuannya.[15]
Guru hendaknya memiliki beberapa sikap :
kasih saying, lemah lembut dan memahami kondisi jiwa peserta didik, tidak
sebaliknya, berlaku kasar dan menakutkan, karena sikap tersebut akan membentuk
peserta didik berlaku negative, seperti bohong, malas, pasif, pura-pura. Ibn
Khaldun setuju dengan hukuman tetapi harus dilakukan secara adil dan merupakan
pilihan terakhir dalam mengatasi masalah peserta didik. Bahkan Ibn Khaldun
memberikan batasan dalam hukuman kalaupun harus menghukum mereka tidak boleh
lebih dari tiga “pukulan”. Disinilah menurut Ibn Khaldun, perilaku, dan teladan
guru lebih penting ketimbang ceramah-ceramah atau perintah-perintah, karena
anak didik lebih mudah meniru apa yang dilakukan guru daripada ceramah atau
keterangan-keterangannya. Fungsi guru menurut Ibn Khaldun tidak hanya sebagai
pengajar bidang studi melainkan juga berfungsi sebagai pemimpin yang
mengarahkan dan mampu membuat perubahan-perubahan positif ke masa depan.[16]
Menurut Ibn Khaldun, untuk memperluas
ilmu pengetahuan perlu membuat jaringan intelektual, pembelajaran di luar kelas
(tatap muka). Tujuannya untuk memperlluas jaringan keilmuan di berbagai wilayah
dan kawasan. Menurut Ibn Khaldun, pengajaran tidak selamanya disampaikan
melalui ceramah, tetapi perlu ada metode praktik langsung, metode tersebut oleh
Ibn Khaldun dianggap lebih mengena dan lebih merasuk.[17]
Ibn Khaldun tidak menyukai pembelajaran
dengan menggunakan sistem hafalan, karena dianggap tidak efektif dan efesien.
Hal ini telah dibuktikan dengan riset yang pernah dilakukan di Maroko dan
Tunis. Di Maroko pendidikan Dasar ditempuh 16 tahun sementara di Tunis 5 tahun.
Tetapi hasil yang dicapai sama saja. Di Maroko metode yang digunakan bersifat
verballistik, hafalan, sementara di Tunis menggunakan metode diskusi, dialog,
dan demonstrative.[18]
Konsep pendidikan Ibn Khaldun sejalan
dengan konsep pendidikan yang dibangun oleh tokoh –tokoh pendidikan modern dari
pestalozi hingga tokoh pendidikan kini ( kontemporer ). Dalam konsep pembelajaran
‘’bertahap ‘’dari melalui yang umum ( global ) menuju yang terinji(parsial)sesuai
dengan konsep pegajaran gestal.[19]
Ibn Khaldun mengkritik para pendidikan
(guru) yang tidak memahami metode mengajar dengan baik, misalnya memaksakan
anak didik untuk memforsir tenaga dan pikirannya. Itulah, maka Ibn Khaldun
meyarankan untuk tidak terlalu lama dalam pemberian bimbigan secara lemah
lembut dan kasih sayang kepada anak didik /alias tidak berlaku kasar dan kejam
/sebab hal ini terkait dengan pembentukan karakter anak. Ada pun metode yang
membawa pengaruh positif terhadap pengajar adalah : memulai dengan yang umum
(global) ini penting, sebab secara naluri, manusia melihat sesuatu berangkat
dari yang umum dulu, baru setelah itu sampai pada yang di talil –ditalil. Ibn Khaldun
juga menyarankan agar ilmu yang diberikan kepada anak didik berangkat dari satu
disiplin ilmu. Beliau menjelaskan : aliran yang bagus dan metode yang demikian
itu tidak akan memperoleh hasil yang maksimal ...’’[20]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar