BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kaidah
fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan
masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan
pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengancara menggolongkan
masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung
hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang
menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan
sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi
tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman
berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak adanashnya,
adalah perlu sekali.
Qawaid
sebagian lain mengatakan metode ini sebagai Qaidah secara bahasa berarti
prinsip – prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan
Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawaid
Fiqhiyyah merupakan prinsip – prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat
melalui pemikiran yang mendalam dari dalil – dalil yang terperinci yang
mencakup keseluruhan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan qawaid
fiqhiyyah dari aspek hubungannya dengan sumber tasyri !
2.
Jelaskan qwaid
fiqhiyyah dari aspek cakupan dan urgensinya !
3.
Jelaskan qawaid
fiqhiyyah menurut al-Suyuthi !
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Aspek
Hubunganya dengan Sumber Tasrik
Ditinjau
dari aspek hubunganya dengan sumber tasrik kepada dua kelompok berikut :
1.
Hadist Nabi
Muhammad SAW yang dibentuk menjadi qawqid fiqhiyyah.
Hadis
Nabi yang dijadikan sebagai qawaid fiqhiyyah yang berkedudukan sebagai qawa’id
‘ammah (kaidah-kaidah umum), dan ada juga yang berkedudukan sebagai qawa’id
khassah (kaidah-kaidah khusus).
Diantara
qawaid fiqhiyyah yang dibentuk langsung dari teks (redaksi) hadist Nabi
Muhammad Saw adalah sebagai berikut :
a) Penggugat harus
menunjukkan bukti, sedangkan yang menolak dapat melakukan sumpah
b) Berhak
memperoleh hasil, karena harus menaggung kerugian
c) Tidak boleh
memadlaratkan dan dimadlaratkan
d) Tinggalkan
hukuman had apabila terjadi kesyubhatan/kesamaran
e) Keringat orang
yang melakukan aniaya tidak dapat menimbulkan hak
f) Siapa yang
membuat hal-hal baru dalam urusan/agama kami ini, maka hal itu tertolak, dan
siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak terdapat dalam urusan/ agama
kami, maka hal itu tertolak
2.
Qawaid fiqhiyyah
yang diistnbath (digali) dari petunjuk-petunjuk nash (al qur’an dan sunnah)
Kelompok
kedua adalah kaidah yag diistinbath (digali) dari petunjuk nas (al qur’an dan
sunnah). Artinya, kaidah-kaidah tersebut tidak secara langsung dibentuk dari
teks atau redaksi al qur’an maupun hadits. Dalam pembentukannya, kaidah
tersebut hanya mengambil petunjuk dari makna yang dikandung oleh al qur’an dan
sunnah. Misalnya, beberapa kadah di bawah ini :
a) Kaidah
Setiap perkara tergantung kepada
maksudnya/tujuanya. Kaidah ini diisbathkan dari ayat-ayat al qur’an dan
hadis nabi Muhammad Saw, diantaranya adalah firman Allah dalam surat An Nisa(4)
ayat 100
* `tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.Íôã ßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÉÉÈ
Artinya: “Barangsiapa berhijrah di
jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas
dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”QS. An Nisa:100
Dan hadits Nabi Muhammad Saw setiap perkara tergantung kepada
maksudnya/niatnya, yang diriwayatkan oleh keenam tokoh hadist (ashab al
sittah).
b) Kaidah
kemadlaratan harus dihilangkan.
Kaidah ini diperkirakan menampung setengah persoalan fiqh. Tujuan dari hokum
adalah menarik mamfaat dan menolak madlarat.
c) Kaidah
kesempitan dapat menarik kemudahan.
Makna dari kaidah ini qath’iy (pasti), karena didukung oleh banyak dasar hokum
(dalil). Dasar hokum menghilangkan kesempitan telah mencapai derajat qathiy
(pasti dan meyakinkan). Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap ketentuan hokum
mengharapkan kemudahan.
d) Kaidah
Keyakinan tidak dapat hilang oleh
keraguan. Kaidah ini erat sekali hubunganya dengan masalah aqidah
(keyakinan) dan hokum Islam. Kaidah ini menjelaskan bahwa eksistensi keyakinan
tidak akan hilang apabila didukung oleh dasar hukum (dalil) yang pasti
(qathiy).
e) Kaidah
adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum.
Kaidah ini istinbathkan dari al qur’an dan sunnah. Ini menunjukkan bahwa adat/
tradisi mempuyai kontribusi yang cukup besar dalam menetapkan sebuah hokum.
Hokum yang dibangun atas dasar maslahat dan adat/tradisi dapat berobah apabila
kedua hal tersebut (maslahat dan adat) telah berobah.
f) Kaidah apabila
yang halal dan yang haram berkumpul, yang haram mengalahkan/mendominasi yang
halal. Kaidah ini terkadung penjelasan bahwa setiap orang harus bersikap
hati-hati (wara) dalam menjalankan agama. Salah satu sikap berhati-hati adalah
berpegang kepada kaidah ini dalam menghadapi berbagai masalah yang didalamnya
terjadi kontradiksi antara kebolehan dan keharaman, syara lebih mengutamakan
menjauhi larangan daripada mengerjakan yang diperintah.
g) Kaidah
apabila terjadi kontradiksi antara dua
kemadlaratan, kemadlaratan yang lebih besar harus dijauhi, dengan cara
mengerjakan kemadlaratan yang lebih ringan. Menurut Ibnu Taimiyah apabila
terjadi kontradiksi antara kemaslahatan dengan kemafsadatan, begitu juga antara
kebaikan dengan kejelekan, dan diantara keduanya terjadi keseimbangan, wajib
mengutamakan yang utama. Apabila terjadi kontradiksi antara kemaslahatan dengan
kemafsadatan dalam sebuah perintah dan larangan, jika kemadlaratanya lebih
banyak, berarti hal itu tidak diperintahkan dan diharamkan.
h) Kaidah tindakan
terhadap rakyat harus disesuaikan dengan kemaslahatan. Menurut al jashshash
kandungan ayat ini ditunjukan untuk semua mukallaf. Menjelaskan bahwa amanat
itu dibebankan pada setiap pemimpin, baik pemimpin agama maupun dunia, kecil
maupun besar. Orang yang menjadi pemimpin wajib menegakkan keadilan dan
mengatur segala urusan dengan adil.
i) Kaidah
kemudahan tidak gugur oleh kesulitan.
Ibnu Hajar al Haitami menjelaskan hadis ini adalah salah satu dari aturan dan
ajaran Islam yang penting. Ini termasuk diantara salah satu hadist Nabi
Muhammad Saw yang jawami’ al kalim. Perkara hokum yang tak terhingga masuk
kedalam cangkupanya. [2]
B.
Aspek
Cakupan dan Urgensinya
Qawaid
fiqhiyyah dilihat dari aspek cakupan dan kegunaannya dapat dibagi kedalam empat
kelompok berikut :
1) Qawaid
fiqhiyyah yang menduduki rukun fiqh Islam. Kaidah-kaidah ini dapat mengeluarkan
hokum fiqh yang jumlahnya tak terhingga . kaidah yang masuk ke dalam kelompok
pertama ini adalah al qawaid al khams, yaitu (1) setiap perkara tergantung
kepada maksudnya (2) kesulitan dapat menarik kemudahan (3) kemadlaratan harus
dihilangkan (4) adat dapat dipertimbangkan sebagai hokum (5) keyakinan tidak
dapat dihilangkan oleh keraguan.
2) Qawaid
fiqhiyyah yang disepakati para ulama, tetapi cangkupanya terhadap hokum fiqh
tidak seluas yang diatas. Kaidah yang masuk kedalam kelompok kedua ini adalah
mayoritas kaidah yang terdapat dalam kitab Majallah al-ahkam al-‘adliyyah.
Diantaranya adalah (1) apabila pelaku langsung dan penyebab sesuatu berkumpul,
hokum dicantelkan kepada pelaku langsung (2) apabila yang menjadi asal batal,
beralih kepada pengganti (3) kemadlaratan yang lebih berat dapat dihilangkan
oleh kemadlaratan yang lebih ringan (4) apabila yang menjadi penghalang hilang,
yang dihalangi pun menjadi tidak terhalang (5) apabila yang menjadi asal gugur
yang menjadi fara’ pun gugur (6) yang menjadi asal adalah mencantelkan
peristiwa kepada waktu yang paling dekat denganya (7) mengamalkan pernyataan
lebih utama daripada tidak mengamalkanya (8) apabila perkara menyempit ia
menjadi luas (9) bukti adalah hujjah yang dijalankan sedangkan pengakuan adalah
hujjah yang terbatas.
3) Qawaid mazhabiyyah (kaidah-kaidah mazhab),
yaitu kaidah yang disepakati mazhab tertentu tetapi tidak disepakati mazhab
lain. Misalnya, kaidah sewa dan menaggung
resiko tidak dapat berkumpul. Kaidah ini disepakati mazhab Hanafi, tetapi
tidak disepakati jumhur fuqaha. Begitu juga, kaidah, keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan. Kaidah ini
disepakati jumhur fuqaha, tetapi tidak disepakati mazhab Hanafi.
4) Qawaid
mukhtalaffiha (kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam mazhab). Artinya, dalam
satu mahzab pun kaidah kelompok keempat ini diperselisihkan. Para pengikut
mazhab tidak menyepakati mazhab ini. Perbedaan pendapat juga berkembang
terhadap masalah-masalah fiqh yang dapat dikeluarkan darinya. Misalnya. Kaidah sesuatu yang menetap/tahan lama dapat
dikenakan hokum yang awal. Menurut Muhammad bin Hasan al Syaibani, hokum
awal dari sesuatu dapat diterapkan bagi sesuatu yang bertahan lama, misalnya
dalam masalah memakai minyak wangi yang baunya tahan lama sebelum menjalankan
ihram.[3]
C.
Pembagian
Qawaid Fiqhiyah Menurut al Suyuthi
Menurut
al Suyuthi qawaid fiqhiyyah terbagi dua yaitu : qawaid fiqhiyyah yang
disepakati (muttafaq alaih) yang jumlahnya sebanyak empat puluh kaidah dan
qawaid fiqhiyyah yang tidak disepakati (mukhtalaf fiha) yang jumlahnya sebanyak
dua puluh kaidah. Menurut al suyuthi kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih
(diunggulkan) salah satunya. Hal ini karena kedua puluh kaidah tersebut
mempuyai dasar hokum masing-masing.[4]
Berikut
ini hanya beberapa kaidah saja yang dipaparkan pemakalah dari keempat puluh
kaidah yang disepakati ialah :
1.
Ijtihad tidak dapat batal
oleh ijtihad, dasar hukum kaidah ini adalah ijma
(kesepakatan) para sahabat ra. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Shabagh. Abu bakar
shidiq ra telah menetapkan beberapa ketetapan hokum yang berbeda dengan Umar
bin Khatab ra, tetapi umar bin khatab ra tidak membatalkan hokum yang telah
ditetapkan oleh Abu bakar shidiq tersebut. Dalam masalah warisan yang
musytarakah, Umar bin Khattab ra telah pernah menetapkan musyarakah. Umar
menyatakan sebagai berikut itu adalah
ketetapan kami terdahulu, sedangkan ini adalah ketetapan kami sekarang.
Dalam masalah hudud, Umar bin Khatab ra telah menetapkan keputusan-keputusan
yang berbeda. Hokum yang telah ditetapkan oleh ijtihad terdahulu tidak dapat
dibatalkan oleh hasil ijtihad baru. Setiap perbuatan yang bedasarka atas ijtihad
terdahulu adalah sah, meskipun hokum perbuatan tersebut telah berubah karena
ada ijtihad baru.
2.
Apabila
yang halal dan yang haram berkumpul, dimenangkan yang haram. Dasar
hukum kaidah ini menurut Hafiz Abu al Fadhl al Iraqiy tidak mempuyai asal
(sumber). Menurut al subki dalam kitabnya al Asybah wa al Nadhair, al Baihaqiy
menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Jabir al ju’fa (seorang yang da’if
/lemah) dari alSyabidan Ibnu Mas’ud. Hadist ini adalah hadist munqathi menurut
al Subki melalui jalan ini Abd al-Razaq telah meriwayatkan hadis tersebut dalam
kitab Mushannafnya. Dengan demikian hadis ini tidak marfu’, tetapi mauquf
kepada Ibnu mas’ud. Selanjutnya al Subki menyatakan meskipun sanad hadis ini
dhaif (lemah), tetapi keidahnya sendiri adalah benar (sesuai dengan perintah
syara’).
3.
Mengutamakan
orang lain dalam masalah ibadah adalah makruh, sedangkan dalam selain adalah
disukai. Dasar kaidah hokum ini adalah firman
Allah dalam surat al Hasyr ayat 9 :
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u#¤$!$# z`»yJM}$#ur `ÏB ö/ÅÏ=ö7s% tbq7Ïtä ô`tB ty_$yd öNÍkös9Î) wur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& crãÏO÷sãur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qã £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR Í´¯»s9'ré'sù ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ
Artinya :Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. QS Al Hasyr :9
Menurut ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam
dalam masalah ibadah tidak ada istilah mengutamakan orang lain. Dengan demikian
tidak ada istilah mengutamakan orang
lain dalam masalah air bersuci, menutup aurat dan barisan pertama.
4.
(Pengikut
adalah mengikuti). Maksudnya, sesuatu yang mengikuti perkara yang lain hukumnya
identik dengan hukum yang diikutinya. Menurut al
Suyuthi diantara hokum furu’ yang diterapka oleh kaidah ini adalah : (a) para
ulama sepakat bahwa air bekas wudlu tidak dapat dipakai untuk mandi junub (b)
air bekas berhadas tidak dapat dipakai untuk membersihkan khubuts (kencing atau
berak).
5.
Tasharruf/tindakan imam terhadap rakyat harus
bedasarkan atas kemslahatan. Menurut al Suyuthi
ashal kaidah ini adalah apa yang dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dalam kitab
Sunanya. Kaidah ini berhubungan dengan kebijaksanaan penguasa/pemerintah
terhadap rakyatnya.
6.
Hukuman
had dapat gugur apabila ada syubhat. Dasar hokum kaidah ini
adalah Sabda Nabi Muhammad Saw, yang berbunyi tinggalkan hukuman had apabila ada syubhat. Subhat tidak dapat
menggugurkan hukuman ta’zir, tetapi syubhat dapat menggugurkan fidyah. Syarat
syubhat harus kuat, sehingga syubhat yang tidak kuat tidak mampuyai pengaruh
hokum apa-apa.
7.
Orang
yang merdeka tidak berada dibawah kekuasaan.
Bedasarkan atas kaidah ini,seandainya seseorang mengurung orang merdeka dengan
cara yang baik, tetapi kemudian yang dikurung tersebut mati karena tertimpa
tembok yang roboh dan yang sepertinya, maka orang yang mengurung tersebut tidak
wajib membayar ganti ruginya. Hal ini berbeda apabila yang dikurung itu adalah
hamba sahaya, karena jika kasus seperti diatas terjadi, maka wajib membayar
ganti rugi. Demikian juga orang yang mengurung tersebut tidak wajib menanggung
kemanfaatan orang merdeka tadi selama ada dalam kurungan seandainya ia tidak
dapat memenuhinya.
8.
Yang
menjadi harim/daerah sekitar sesuatu mempuyai hukum seperti hukum sesuatu
tersebut. Dasar hukum kaidah ini adalah hadist
Nabi Muhammad Saw : yang halal telah
jelas dan yang haram telah jelas, dan diantara keduanya ada masalah-masalah
mutasyabihaat (yang tidak jelas hukumnya),yang kebanyakan orang tidak
mengetahui hukumnya. Membersihkan agama dan dirinya; dan barang siapa yang
jatuh ke dalam syubhat berarti dia telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang
pengembala yang mengembala disekitar pagar dari larangan, dikhawatirkan akan
melanggar (memasuki) ke dalam pagar.” Menurut al-Zarkasyi, masalah kedalam
hukum wajib, haram, dan makruh.
9.
Apabila
dua perkara yang sejenis berkumpul dan maksud dari keduanya tidak berbeda, maka
biasanya yang satu masuk kepada yangn lain.
Kaidah ini menjelaskan bahwa apabila dua perkara yang sejenis berkumpul, dan
maksud dari keduanya tidak berbeda, maka salah satunya masuk kepada yang lain.
Artinya, cukup dengan mengerjakan salah satu dari keduanya saja, yaitu perkara
yang lebih besar. Ini karena pada hakikatnya, perkara yang lebih besar dapat
menkangkup perkara yang lebih kecil, sehingga sudah dianggap mencangkup kedua
perkara tersebut sekaligus.
10.
Mengamalkan
maksud sebuah pernyataan adalah lebih utama daripada menyia-nyiakannya.
Menurut Tajuddin Al Subki, kaidah ini berlaku apabila antara ihmal
(menyia-nyiakan) dengan i’mal (mengamalkan) pertanyaan adalah sama, tetapi
kalau i’mal pernyataan itu adalah jauh
yang menyerupai teka-teki, maka i’mal tidak lebih utama. Misalnya pernyataan
seseorang, saya kawinkan kamu dengan Fatimah, tanpa mengatakan : “dengan anak
perempuanku”. Menurut pendapat paling sahih, dalam masalah ini tidak boleh
i’mal (mengamalkan), karena yang bernama Fatimah adalah banyak.[5]
Berikut akan dijelaskan sebahagian
kaidah kedua puluh yang diperselisihkan :
1.
Apakah salat jum’at
merupakan salat zuhur yang dipendekkan atau salat menurut keadaan semestinya.
Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah sebagai berikut. Sholat
jum’at benar dapat dinyatakan sebagai salat zuhur yang dipendekkan. Ini karena
orang yang sedang berpergian boleh menjamak salat jum’at dengan salat ashar,
karena salat jum’at adalah salat dhuhur yang dipendekkan.
2.
Salat makmum dibelakang
orang yang hadast yang tidak diketahui keadaannya, apabila kita nyatakan
salatnya sah, maka apakah salatnya tersebut salat berjamaah atau salat sendiri.
Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah apabila imam yang demikian
itu dalam salat jum’at dengan jumlah jama’ah yang cukup meskipun setelah
dikurangi oleh imam, maka menurut pendapat yang lebih sahih, salat jum’at yang
seperti itu adalah sah, dan mendapat keutamaan salat berjamaah.
3.
Siapa
melakukan perbuatan yang meniadakan/membatalkan perbuatan fardlunya, bukan perbuatannya
yang sunnah, diawal perbuatan fardlu atau ditengah-tengahnya, maka batal
fardlunya. Apakah salat fardlunya tersebut menjadi salat sunnah atau batal.
Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah salatnya berubah menjadi salat
sunnah. Apabila seorang melakukan salat fardlu, kemudian karena ingin mengikuti
salat jama’ah, ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya sah dan menjadi salat
sunnah. Begitu juga, orang yang melakukan takbiratul ihram untuk salat fardlu
sebelum masuk waktu karena tidak mengetahui, maka salatnya sah dan menjadi
salat sunnah.
4.
Apakah
nazar harus dilaksanakan seperti pelaksanaan perkara wajib, atau boleh
dilaksanakan seperti pelaksanaan perkara yang jaiz/boleh.
Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah
ini adalah apabila nazarnya adalah salat, puasa atau qurban, maka pelaksanaanya
seperti perkara wajib, sehingga harus berdiri jika nazarnya salat jika mampu,
harus niat pada malam hari jika nazarnya puasa, dan harus cukup umur serta
tidak cacat jika nazarnya qurban.
5.
Yang
dianggap itu apakah sighat aqad ataukah maknanya.
Menurut hukum yang berkaitan dengan kaidah ini adalah apabila orang berkata : “ saya membeli baju dari kamu
dengan syarat-syarat seperti ini, dengan uang sekian”, kemudian penjual
menjawan : “ ya jadi”. Menurut lafadznya, transaksi ini adalah jual beli dan
menurut maknanya, transaksi ini adalah jual beli salam.
6.
Barang
yang dipinjam untuk digadaikan, apakah yang lebih umum bagi barang itu adalah
berlaku apek dlaman (borg/jaminan) atau aspek pinjaman.
Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah setelah barang pinjaman
untuk borg/jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah orang yang
mempuyai barang meminta kembali barang tersebut ? apabila barang tersebut
dianggap sebagi barang pinjaman maka boleh/dapat diminta kembali, tetapi jika
sebagai barang jaminan, tidak dapat diminta kembali. Ini yang lebih sahih.
7.
Apakah
hiwalah/pemindahan hutang termasuk jual beli atau kewajiban yang harus dipenuhi
? hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah
apakah dalam hiwalah terdapat khiyar ? apabila hiwalah dianggap sebagai
kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar. Apabila ada orang membeli
barang dengan harga tertentu, kemudian penjual memindahkan pembayaran barang
tersebut kepada orang lain (dimana penjual mempuyai hutang kepadanya). Kemudian
pembeli mengembalikan barang tersebut karena ada cacatnya, maka dianggap
sebagai istifa (kewajiban yang harus dipenuhi) tidak boleh dikembalikan, tetapi
jika dianggap sebagai jual beli barang tersebut boleh dikembalikan.
8.
Apakah
pembebasan hutang merupakan penguguran hutang atau pemberian untuk dimiliki ?.
hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah pembebasan hutang yang
tidak diketahui jumlahnya oleh orang yang membebaskan yang lebih sahih (benar)
adalah pemberian untuk dimiliki, bukan penguguran hutang. Apabila yang
membebaskan hutang mengetahui jumlahnya, maka yang lebih sahih adalahpenguguran
hutang.
9.
Iqalah
(mencabut jual beliterhadap orang yang menyesal) apakah merupakan pembatalan jual
beli atau merupakan jual beli(lagi). Membeli budak kafir
dari penjual kafir, kemudian budak tersebut menjadi muslim dan penjual
menghendaki iqalah. Apabila iqalah dianggap jual beli, adanya kehendak iqalah
tidak sah. Akan tetapi, apabila iqalah dianggap sebagai pembatalan jual beli,
maka iqalah sah, seperti halnya mengembalikan barang pembelian karena ada
cacat. Apabila iqalah dianggap sebagai fasakh, maka tidak perlu ijab qabul
(serah terima), dan jika dianggap sebagai jual beli, harus ada ijab qabul.
10.
Apakah
maskawin yang sudah ditentukan tetapi masih di tangan suami, belum diterima
oleh istri, termasuk barang yang dijamin oleh suami bedasarkan aqad, atau
dijamin oleh suami sebagai barang yang diambil dari tangan isteri?
Apabila maskawin dianggap sebagai barang yang dijamin oleh aqad, maka tidak sah
untuk dijual sebelum diterima istri, sedangkan apabila dianggap sebagai hak
isteri (dlimanu yaddin), maka boleh dijual meskipun belum ada ditangan isteri.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ditinjau
dari aspek hubunganya dengan sumber tasrik kepada dua kelompok berikut :
1.
Hadis Nabi yang
dijadikan sebagai qawaid fiqhiyyah yang berkedudukan sebagai qawa’id ‘ammah
(kaidah-kaidah umum), dan ada juga yang berkedudukan sebagai qawa’id khassah
(kaidah-kaidah khusus).
2.
Qawaid fiqhiyyah
yang diistnbath (digali) dari petunjuk-petunjuk nash (al qur’an dan sunnah)
Qawaid
fiqhiyyah dilihat dari aspek cakupan dan kegunaannya dapat dibagi kedalam empat
kelompok berikut :
1.
Qawaid fiqhiyyah
yang menduduki rukun fiqh Islam.
2.
Qawaid fiqhiyyah
yang disepakati para ulama.
3.
Qawaid mazhabiyyah (kaidah-kaidah mazhab
4.
Qawaid
mukhtalaffiha (kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam mazhab).
Menurut al Suyuthi qawaid fiqhiyyah
terbagi dua yaitu : qawaid fiqhiyyah yang disepakati (muttafaq alaih) yang
jumlahnya sebanyak empat puluh kaidah dan qawaid fiqhiyyah yang tidak
disepakati (mukhtalaf fiha) yang jumlahnya sebanyak dua puluh kaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Rohayana
. Ade Dedi, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah,
Jakarta:Gaya Media Pratama,2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar