Kamis, 06 November 2014

Pembagian Qawaid Fiqyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengancara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak adanashnya, adalah perlu sekali.
Qawaid sebagian lain mengatakan metode ini sebagai Qaidah secara bahasa berarti prinsip – prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip – prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang mendalam dari dalil – dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan.
B.            Rumusan Masalah
1.             Jelaskan qawaid fiqhiyyah dari aspek hubungannya dengan sumber tasyri !
2.             Jelaskan qwaid fiqhiyyah dari aspek cakupan dan urgensinya !
3.             Jelaskan qawaid fiqhiyyah menurut al-Suyuthi !


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Aspek Hubunganya dengan Sumber Tasrik
Ditinjau dari aspek hubunganya dengan sumber tasrik kepada dua kelompok berikut :
1.             Hadist Nabi Muhammad SAW yang dibentuk menjadi qawqid fiqhiyyah.
Hadis Nabi yang dijadikan sebagai qawaid fiqhiyyah yang berkedudukan sebagai qawa’id ‘ammah (kaidah-kaidah umum), dan ada juga yang berkedudukan sebagai qawa’id khassah (kaidah-kaidah khusus).
Diantara qawaid fiqhiyyah yang dibentuk langsung dari teks (redaksi) hadist Nabi Muhammad Saw adalah sebagai berikut :
a)    Penggugat harus menunjukkan bukti, sedangkan yang menolak dapat melakukan sumpah
b)   Berhak memperoleh hasil, karena harus menaggung kerugian
c)    Tidak boleh memadlaratkan dan dimadlaratkan
d)   Tinggalkan hukuman had apabila terjadi kesyubhatan/kesamaran
e)    Keringat orang yang melakukan aniaya tidak dapat menimbulkan hak
f)    Siapa yang membuat hal-hal baru dalam urusan/agama kami ini, maka hal itu tertolak, dan siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak terdapat dalam urusan/ agama kami, maka hal itu tertolak
g)   Setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.[1]
2.             Qawaid fiqhiyyah yang diistnbath (digali) dari petunjuk-petunjuk nash (al qur’an dan sunnah)
Kelompok kedua adalah kaidah yag diistinbath (digali) dari petunjuk nas (al qur’an dan sunnah). Artinya, kaidah-kaidah tersebut tidak secara langsung dibentuk dari teks atau redaksi al qur’an maupun hadits. Dalam pembentukannya, kaidah tersebut hanya mengambil petunjuk dari makna yang dikandung oleh al qur’an dan sunnah. Misalnya, beberapa kadah di bawah ini :
a)    Kaidah Setiap perkara tergantung kepada maksudnya/tujuanya. Kaidah ini diisbathkan dari ayat-ayat al qur’an dan hadis nabi Muhammad Saw, diantaranya adalah firman Allah dalam surat An Nisa(4) ayat 100
* `tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZŽÏWx. Zpyèyur 4 `tBur ólãøƒs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.ÍôムßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊÉÉÈ  
Artinya: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha PenyayangQS. An Nisa:100
Dan hadits Nabi Muhammad Saw setiap perkara tergantung kepada maksudnya/niatnya, yang diriwayatkan oleh keenam tokoh hadist (ashab al sittah).
b)   Kaidah kemadlaratan harus dihilangkan. Kaidah ini diperkirakan menampung setengah persoalan fiqh. Tujuan dari hokum adalah menarik mamfaat dan menolak madlarat.
c)    Kaidah kesempitan dapat menarik kemudahan. Makna dari kaidah ini qath’iy (pasti), karena didukung oleh banyak dasar hokum (dalil). Dasar hokum menghilangkan kesempitan telah mencapai derajat qathiy (pasti dan meyakinkan). Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap ketentuan hokum mengharapkan kemudahan.
d)   Kaidah Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan. Kaidah ini erat sekali hubunganya dengan masalah aqidah (keyakinan) dan hokum Islam. Kaidah ini menjelaskan bahwa eksistensi keyakinan tidak akan hilang apabila didukung oleh dasar hukum (dalil) yang pasti (qathiy).
e)    Kaidah adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum. Kaidah ini istinbathkan dari al qur’an dan sunnah. Ini menunjukkan bahwa adat/ tradisi mempuyai kontribusi yang cukup besar dalam menetapkan sebuah hokum. Hokum yang dibangun atas dasar maslahat dan adat/tradisi dapat berobah apabila kedua hal tersebut (maslahat dan adat) telah berobah.
f)     Kaidah apabila yang halal dan yang haram berkumpul, yang haram mengalahkan/mendominasi yang halal. Kaidah ini terkadung penjelasan bahwa setiap orang harus bersikap hati-hati (wara) dalam menjalankan agama. Salah satu sikap berhati-hati adalah berpegang kepada kaidah ini dalam menghadapi berbagai masalah yang didalamnya terjadi kontradiksi antara kebolehan dan keharaman, syara lebih mengutamakan menjauhi larangan daripada mengerjakan yang diperintah.
g)   Kaidah apabila terjadi kontradiksi antara dua kemadlaratan, kemadlaratan yang lebih besar harus dijauhi, dengan cara mengerjakan kemadlaratan yang lebih ringan. Menurut Ibnu Taimiyah apabila terjadi kontradiksi antara kemaslahatan dengan kemafsadatan, begitu juga antara kebaikan dengan kejelekan, dan diantara keduanya terjadi keseimbangan, wajib mengutamakan yang utama. Apabila terjadi kontradiksi antara kemaslahatan dengan kemafsadatan dalam sebuah perintah dan larangan, jika kemadlaratanya lebih banyak, berarti hal itu tidak diperintahkan dan diharamkan.
h)    Kaidah tindakan terhadap rakyat harus disesuaikan dengan kemaslahatan. Menurut al jashshash kandungan ayat ini ditunjukan untuk semua mukallaf. Menjelaskan bahwa amanat itu dibebankan pada setiap pemimpin, baik pemimpin agama maupun dunia, kecil maupun besar. Orang yang menjadi pemimpin wajib menegakkan keadilan dan mengatur segala urusan dengan adil.
i)     Kaidah kemudahan tidak gugur oleh kesulitan. Ibnu Hajar al Haitami menjelaskan hadis ini adalah salah satu dari aturan dan ajaran Islam yang penting. Ini termasuk diantara salah satu hadist Nabi Muhammad Saw yang jawami’ al kalim. Perkara hokum yang tak terhingga masuk kedalam cangkupanya. [2]
B.            Aspek Cakupan dan Urgensinya
Qawaid fiqhiyyah dilihat dari aspek cakupan dan kegunaannya dapat dibagi kedalam empat kelompok berikut :
1)   Qawaid fiqhiyyah yang menduduki rukun fiqh Islam. Kaidah-kaidah ini dapat mengeluarkan hokum fiqh yang jumlahnya tak terhingga . kaidah yang masuk ke dalam kelompok pertama ini adalah al qawaid al khams, yaitu (1) setiap perkara tergantung kepada maksudnya (2) kesulitan dapat menarik kemudahan (3) kemadlaratan harus dihilangkan (4) adat dapat dipertimbangkan sebagai hokum (5) keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan.
2)   Qawaid fiqhiyyah yang disepakati para ulama, tetapi cangkupanya terhadap hokum fiqh tidak seluas yang diatas. Kaidah yang masuk kedalam kelompok kedua ini adalah mayoritas kaidah yang terdapat dalam kitab Majallah al-ahkam al-‘adliyyah. Diantaranya adalah (1) apabila pelaku langsung dan penyebab sesuatu berkumpul, hokum dicantelkan kepada pelaku langsung (2) apabila yang menjadi asal batal, beralih kepada pengganti (3) kemadlaratan yang lebih berat dapat dihilangkan oleh kemadlaratan yang lebih ringan (4) apabila yang menjadi penghalang hilang, yang dihalangi pun menjadi tidak terhalang (5) apabila yang menjadi asal gugur yang menjadi fara’ pun gugur (6) yang menjadi asal adalah mencantelkan peristiwa kepada waktu yang paling dekat denganya (7) mengamalkan pernyataan lebih utama daripada tidak mengamalkanya (8) apabila perkara menyempit ia menjadi luas (9) bukti adalah hujjah yang dijalankan sedangkan pengakuan adalah hujjah yang terbatas.
3)    Qawaid mazhabiyyah (kaidah-kaidah mazhab), yaitu kaidah yang disepakati mazhab tertentu tetapi tidak disepakati mazhab lain. Misalnya, kaidah sewa dan menaggung resiko tidak dapat berkumpul. Kaidah ini disepakati mazhab Hanafi, tetapi tidak disepakati jumhur fuqaha. Begitu juga, kaidah, keringanan tidak dikaitkan dengan kemaksiatan. Kaidah ini disepakati jumhur fuqaha, tetapi tidak disepakati mazhab Hanafi.
4)   Qawaid mukhtalaffiha (kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam mazhab). Artinya, dalam satu mahzab pun kaidah kelompok keempat ini diperselisihkan. Para pengikut mazhab tidak menyepakati mazhab ini. Perbedaan pendapat juga berkembang terhadap masalah-masalah fiqh yang dapat dikeluarkan darinya. Misalnya. Kaidah sesuatu yang menetap/tahan lama dapat dikenakan hokum yang awal. Menurut Muhammad bin Hasan al Syaibani, hokum awal dari sesuatu dapat diterapkan bagi sesuatu yang bertahan lama, misalnya dalam masalah memakai minyak wangi yang baunya tahan lama sebelum menjalankan ihram.[3]
C.           Pembagian Qawaid Fiqhiyah Menurut al Suyuthi
Menurut al Suyuthi qawaid fiqhiyyah terbagi dua yaitu : qawaid fiqhiyyah yang disepakati (muttafaq alaih) yang jumlahnya sebanyak empat puluh kaidah dan qawaid fiqhiyyah yang tidak disepakati (mukhtalaf fiha) yang jumlahnya sebanyak dua puluh kaidah. Menurut al suyuthi kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah satunya. Hal ini karena kedua puluh kaidah tersebut mempuyai dasar hokum masing-masing.[4]
Berikut ini hanya beberapa kaidah saja yang dipaparkan pemakalah dari keempat puluh kaidah yang disepakati ialah :
1.             Ijtihad tidak dapat batal oleh ijtihad, dasar hukum kaidah ini adalah ijma (kesepakatan) para sahabat ra. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Shabagh. Abu bakar shidiq ra telah menetapkan beberapa ketetapan hokum yang berbeda dengan Umar bin Khatab ra, tetapi umar bin khatab ra tidak membatalkan hokum yang telah ditetapkan oleh Abu bakar shidiq tersebut. Dalam masalah warisan yang musytarakah, Umar bin Khattab ra telah pernah menetapkan musyarakah. Umar menyatakan sebagai berikut itu adalah ketetapan kami terdahulu, sedangkan ini adalah ketetapan kami sekarang. Dalam masalah hudud, Umar bin Khatab ra telah menetapkan keputusan-keputusan yang berbeda. Hokum yang telah ditetapkan oleh ijtihad terdahulu tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad baru. Setiap perbuatan yang bedasarka atas ijtihad terdahulu adalah sah, meskipun hokum perbuatan tersebut telah berubah karena ada ijtihad baru.
2.             Apabila yang halal dan yang haram berkumpul, dimenangkan yang haram. Dasar hukum kaidah ini menurut Hafiz Abu al Fadhl al Iraqiy tidak mempuyai asal (sumber). Menurut al subki dalam kitabnya al Asybah wa al Nadhair, al Baihaqiy menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Jabir al ju’fa (seorang yang da’if /lemah) dari alSyabidan Ibnu Mas’ud. Hadist ini adalah hadist munqathi menurut al Subki melalui jalan ini Abd al-Razaq telah meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab Mushannafnya. Dengan demikian hadis ini tidak marfu’, tetapi mauquf kepada Ibnu mas’ud. Selanjutnya al Subki menyatakan meskipun sanad hadis ini dhaif (lemah), tetapi keidahnya sendiri adalah benar (sesuai dengan perintah syara’).
3.             Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah makruh, sedangkan dalam selain adalah disukai. Dasar kaidah hokum ini adalah firman Allah dalam surat al Hasyr ayat 9 :
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u#¤$!$# z`»yJƒM}$#ur `ÏB ö/ÅÏ=ö7s% tbq7Ïtä ô`tB ty_$yd öNÍköŽs9Î) Ÿwur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& šcrãÏO÷sãƒur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ  
Artinya :Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. QS Al Hasyr :9
Menurut ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam dalam masalah ibadah tidak ada istilah mengutamakan orang lain. Dengan demikian tidak ada istilah mengutamakan  orang lain dalam masalah air bersuci, menutup aurat dan barisan pertama.
4.             (Pengikut adalah mengikuti). Maksudnya, sesuatu yang mengikuti perkara yang lain hukumnya identik dengan hukum yang diikutinya. Menurut al Suyuthi diantara hokum furu’ yang diterapka oleh kaidah ini adalah : (a) para ulama sepakat bahwa air bekas wudlu tidak dapat dipakai untuk mandi junub (b) air bekas berhadas tidak dapat dipakai untuk membersihkan khubuts (kencing atau berak).
5.              Tasharruf/tindakan imam terhadap rakyat harus bedasarkan atas kemslahatan. Menurut al Suyuthi ashal kaidah ini adalah apa yang dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dalam kitab Sunanya. Kaidah ini berhubungan dengan kebijaksanaan penguasa/pemerintah terhadap rakyatnya.
6.             Hukuman had dapat gugur apabila ada syubhat. Dasar hokum kaidah ini adalah Sabda Nabi Muhammad Saw, yang berbunyi tinggalkan hukuman had apabila ada syubhat. Subhat tidak dapat menggugurkan hukuman ta’zir, tetapi syubhat dapat menggugurkan fidyah. Syarat syubhat harus kuat, sehingga syubhat yang tidak kuat tidak mampuyai pengaruh hokum apa-apa.
7.             Orang yang merdeka tidak berada dibawah kekuasaan. Bedasarkan atas kaidah ini,seandainya seseorang mengurung orang merdeka dengan cara yang baik, tetapi kemudian yang dikurung tersebut mati karena tertimpa tembok yang roboh dan yang sepertinya, maka orang yang mengurung tersebut tidak wajib membayar ganti ruginya. Hal ini berbeda apabila yang dikurung itu adalah hamba sahaya, karena jika kasus seperti diatas terjadi, maka wajib membayar ganti rugi. Demikian juga orang yang mengurung tersebut tidak wajib menanggung kemanfaatan orang merdeka tadi selama ada dalam kurungan seandainya ia tidak dapat memenuhinya.
8.             Yang menjadi harim/daerah sekitar sesuatu mempuyai hukum seperti hukum sesuatu tersebut. Dasar hukum kaidah ini adalah hadist Nabi Muhammad Saw : yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan diantara keduanya ada masalah-masalah mutasyabihaat (yang tidak jelas hukumnya),yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Membersihkan agama dan dirinya; dan barang siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti dia telah jatuh kepada keharaman, seperti seorang pengembala yang mengembala disekitar pagar dari larangan, dikhawatirkan akan melanggar (memasuki) ke dalam pagar.” Menurut al-Zarkasyi, masalah kedalam hukum wajib, haram, dan makruh.
9.             Apabila dua perkara yang sejenis berkumpul dan maksud dari keduanya tidak berbeda, maka biasanya yang satu masuk kepada yangn lain. Kaidah ini menjelaskan bahwa apabila dua perkara yang sejenis berkumpul, dan maksud dari keduanya tidak berbeda, maka salah satunya masuk kepada yang lain. Artinya, cukup dengan mengerjakan salah satu dari keduanya saja, yaitu perkara yang lebih besar. Ini karena pada hakikatnya, perkara yang lebih besar dapat menkangkup perkara yang lebih kecil, sehingga sudah dianggap mencangkup kedua perkara tersebut sekaligus.
10.         Mengamalkan maksud sebuah pernyataan adalah lebih utama daripada menyia-nyiakannya. Menurut Tajuddin Al Subki, kaidah ini berlaku apabila antara ihmal (menyia-nyiakan) dengan i’mal (mengamalkan) pertanyaan adalah sama, tetapi kalau i’mal  pernyataan itu adalah jauh yang menyerupai teka-teki, maka i’mal tidak lebih utama. Misalnya pernyataan seseorang, saya kawinkan kamu dengan Fatimah, tanpa mengatakan : “dengan anak perempuanku”. Menurut pendapat paling sahih, dalam masalah ini tidak boleh i’mal (mengamalkan), karena yang bernama Fatimah adalah banyak.[5]

Berikut akan dijelaskan sebahagian kaidah kedua puluh yang diperselisihkan :
1.             Apakah salat jum’at merupakan salat zuhur yang dipendekkan atau salat menurut keadaan semestinya. Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah sebagai berikut. Sholat jum’at benar dapat dinyatakan sebagai salat zuhur yang dipendekkan. Ini karena orang yang sedang berpergian boleh menjamak salat jum’at dengan salat ashar, karena salat jum’at adalah salat dhuhur yang dipendekkan.
2.             Salat makmum dibelakang orang yang hadast yang tidak diketahui keadaannya, apabila kita nyatakan salatnya sah, maka apakah salatnya tersebut salat berjamaah atau salat sendiri. Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah apabila imam yang demikian itu dalam salat jum’at dengan jumlah jama’ah yang cukup meskipun setelah dikurangi oleh imam, maka menurut pendapat yang lebih sahih, salat jum’at yang seperti itu adalah sah, dan mendapat keutamaan salat berjamaah.
3.             Siapa melakukan perbuatan yang meniadakan/membatalkan perbuatan fardlunya, bukan perbuatannya yang sunnah, diawal perbuatan fardlu atau ditengah-tengahnya, maka batal fardlunya. Apakah salat fardlunya tersebut menjadi salat sunnah atau batal. Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah salatnya berubah menjadi salat sunnah. Apabila seorang melakukan salat fardlu, kemudian karena ingin mengikuti salat jama’ah, ia salam setelah dua rakaat, maka salatnya sah dan menjadi salat sunnah. Begitu juga, orang yang melakukan takbiratul ihram untuk salat fardlu sebelum masuk waktu karena tidak mengetahui, maka salatnya sah dan menjadi salat sunnah.
4.             Apakah nazar harus dilaksanakan seperti pelaksanaan perkara wajib, atau boleh dilaksanakan seperti pelaksanaan perkara yang jaiz/boleh. Hukum furu’  yang berkaitan dengan kaidah ini adalah apabila nazarnya adalah salat, puasa atau qurban, maka pelaksanaanya seperti perkara wajib, sehingga harus berdiri jika nazarnya salat jika mampu, harus niat pada malam hari jika nazarnya puasa, dan harus cukup umur serta tidak cacat jika nazarnya qurban.
5.             Yang dianggap itu apakah sighat aqad ataukah maknanya. Menurut hukum yang berkaitan dengan kaidah ini adalah apabila  orang berkata : “ saya membeli baju dari kamu dengan syarat-syarat seperti ini, dengan uang sekian”, kemudian penjual menjawan : “ ya jadi”. Menurut lafadznya, transaksi ini adalah jual beli dan menurut maknanya, transaksi ini adalah jual beli salam.
6.             Barang yang dipinjam untuk digadaikan, apakah yang lebih umum bagi barang itu adalah berlaku apek dlaman (borg/jaminan) atau aspek pinjaman. Hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah setelah barang pinjaman untuk borg/jaminan gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah orang yang mempuyai barang meminta kembali barang tersebut ? apabila barang tersebut dianggap sebagi barang pinjaman maka boleh/dapat diminta kembali, tetapi jika sebagai barang jaminan, tidak dapat diminta kembali. Ini yang lebih sahih.
7.             Apakah hiwalah/pemindahan hutang termasuk jual beli atau kewajiban yang harus dipenuhi ? hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah apakah dalam hiwalah terdapat khiyar ? apabila hiwalah dianggap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar. Apabila ada orang membeli barang dengan harga tertentu, kemudian penjual memindahkan pembayaran barang tersebut kepada orang lain (dimana penjual mempuyai hutang kepadanya). Kemudian pembeli mengembalikan barang tersebut karena ada cacatnya, maka dianggap sebagai istifa (kewajiban yang harus dipenuhi) tidak boleh dikembalikan, tetapi jika dianggap sebagai jual beli barang tersebut boleh dikembalikan.
8.             Apakah pembebasan hutang merupakan penguguran hutang atau pemberian untuk dimiliki ?. hukum furu’ yang berkaitan dengan kaidah ini adalah pembebasan hutang yang tidak diketahui jumlahnya oleh orang yang membebaskan yang lebih sahih (benar) adalah pemberian untuk dimiliki, bukan penguguran hutang. Apabila yang membebaskan hutang mengetahui jumlahnya, maka yang lebih sahih adalahpenguguran hutang.
9.             Iqalah (mencabut jual beliterhadap orang yang menyesal) apakah merupakan pembatalan jual beli atau merupakan jual beli(lagi). Membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak tersebut menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Apabila iqalah dianggap jual beli, adanya kehendak iqalah tidak sah. Akan tetapi, apabila iqalah dianggap sebagai pembatalan jual beli, maka iqalah sah, seperti halnya mengembalikan barang pembelian karena ada cacat. Apabila iqalah dianggap sebagai fasakh, maka tidak perlu ijab qabul (serah terima), dan jika dianggap sebagai jual beli, harus ada ijab qabul.
10.         Apakah maskawin yang sudah ditentukan tetapi masih di tangan suami, belum diterima oleh istri, termasuk barang yang dijamin oleh suami bedasarkan aqad, atau dijamin oleh suami sebagai barang yang diambil dari tangan isteri? Apabila maskawin dianggap sebagai barang yang dijamin oleh aqad, maka tidak sah untuk dijual sebelum diterima istri, sedangkan apabila dianggap sebagai hak isteri (dlimanu yaddin), maka boleh dijual meskipun belum ada ditangan isteri.[6]


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Ditinjau dari aspek hubunganya dengan sumber tasrik kepada dua kelompok berikut :
1.             Hadis Nabi yang dijadikan sebagai qawaid fiqhiyyah yang berkedudukan sebagai qawa’id ‘ammah (kaidah-kaidah umum), dan ada juga yang berkedudukan sebagai qawa’id khassah (kaidah-kaidah khusus).
2.             Qawaid fiqhiyyah yang diistnbath (digali) dari petunjuk-petunjuk nash (al qur’an dan sunnah)
Qawaid fiqhiyyah dilihat dari aspek cakupan dan kegunaannya dapat dibagi kedalam empat kelompok berikut :
1.             Qawaid fiqhiyyah yang menduduki rukun fiqh Islam.
2.             Qawaid fiqhiyyah yang disepakati para ulama.
3.              Qawaid mazhabiyyah (kaidah-kaidah mazhab
4.             Qawaid mukhtalaffiha (kaidah-kaidah yang diperselisihkan dalam mazhab).
Menurut al Suyuthi qawaid fiqhiyyah terbagi dua yaitu : qawaid fiqhiyyah yang disepakati (muttafaq alaih) yang jumlahnya sebanyak empat puluh kaidah dan qawaid fiqhiyyah yang tidak disepakati (mukhtalaf fiha) yang jumlahnya sebanyak dua puluh kaidah.


DAFTAR PUSTAKA

Rohayana . Ade Dedi, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta:Gaya Media Pratama,2008




[1] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2008), hal. 116-118
[2] Ibid,. hal. 119-136
[3] Ibid,. hal. 136-141
[4] Ibid,. hal. 143
[5] Ibid,. hal. 143-161
[6]ibid,. hal. 185-191. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar