BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Meskipun
sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan
penjelasan dari hal-halyang masuk akal, banyak teori-teorinya yang bertahan
bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena dianggap
masuk akal dan sesuatu dengan pemikiran masyarakat pada umumnya.
Sebagai
aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada ditangkap pancaindra
dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada. Batu yang tersandung
dijalan yang baru dialami memang ada. Bunga mawar yang bau harumnya merangsang
hidung sungguh-sungguh nyata ada bertengger pada ranting pohonya di ranting
bunga.
Filsafat
yang konon merupakan ibu dari semua ilmu pengetahuan adalah interpretasi dari
para filosof. Sebagai konsekwensi dari banyaknya filosof, terdapat beberapa
sudut pandang dan aliran-aliran yang berbeda-beda dalam filsafat. Di dalam
makalah ini, akan diterangkan sekilas tentang realisme Aristoteles.
B.
Rumusan Masalah
a.
Jelaskan biografi
Aristoteles !
b.
Jelaskan yang dimaksud
dengan realisme Aristoteles !
c.
Jelaskan pengarus pemikiran
Aristoteles !
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan
kelompok 10 membuat makalah ini agar mahasiswa/i dapat mengatahui tentang
biografi Aristotele, realism Aristotele dan pengaruh pemikiranya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Aristoteles
Aristoteles
lahir di Kota Stageria, semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384
SM, dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM. Ia adalah anak dari Nicomachus,
seorang dokter istana Macedonia pada masa pemerintahan Raja Amyntas II. Ayahnya
meninggal ketika ia masih berusia anak-anak. Kemudian ia dididik oleh ayah
angkatnya, Proxenus sampai berumur 18 tahun. Pada umur 18 ini Aristoteles
dikirim pleh ayah angkatnya untuk belajar di Akademy Plato di Athena. Ia tinnggal
di sana kira-kira 20 tahun sampai Plato meninggail dunia (384 SM). Pada waktu
berada di Akademy, Aristoteles menerbitkan beberapa karya, dan juga
mengajar anggota-anggota Akademy yang lebih muda.
Setelah
Plato meninggal, Aristoteles meninggalkan Athena bersama Xenokrates menuju
Assos di pesisir Asia Kecil. Di mana Hermeias pada waktu itu menjadi penguasa
negara.
Pada
tahunn 342 SM Aristoteles diundang oleh Raja Philippos dari Macedonia untuk
mengajar anaknya, Alexander yang berusia 13 tahun. Aristoteles berusaha melatih
moral dan intelektual kepada Alexander, yang nantinya akan menerima warisan
tahta sebagai Alexander Agung. Dengan cara ini secara tidak langsung akan
memperluas paham dan cita-cita Aristoteles dalam mencerdaskan manusia dan membentuk
negara kota sebagai pusat kehidupan.
Pada
tahun 340 SM Alexander diangkat menjadi pejabat Raja Macedonia dan empat tahun
kemudian ia menggantikan ayahnya menjadi Raja macedonia. Setelah Alexander
Agung diangkat menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena dan atas bantuan
Raja Alexander, ia mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama Lykeion. Dalam
sekolah ini Aristoteles mengajarkan paham dan ilmu-ilmu yang berkembang pada
waktu itu. Ia juga membuat perpustakaan dengan mengumpulkan manuskrip-manuskrip
dan peta bumi. Dalam pengumpulan bahan-bahan ini, Alexander sangat berperan
penting, yaitu memerintahkan kepada semua pemburu, penangkap unggas, dan
nelayan di kerajaannya untuk melaporkan kepada Aristoteles mengenai semua hasil
yang menarik dari sudut ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Aristoteles
dan Alexander sebagai murid sampai saat itu cukup harmonis. Keretakan hubungan
mereka baru terjadi ketika Alexander memerintahkan pasukannya untuk membunuh
keponakan Aristoteles, Carlisthenes karena dicuriagai ikut kelompok
pemberontak.
Pada
tahun 323 SM Alexander Agung meninggal dunia. Hal ini menyebabkan suatu gerakan
Anti Macedonia oleh kota-kota yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan
kerajaan Macedonia, dan salah satunya adalan Athena. Karena kedekatan Aristoteles
dengan Raja Alexander Agung, maka ia dituduh durhaka. Dengan adanya gejolak
ini, Aristoteles terpaksa meninggalkan Athena dan menyerahkan Sekolah Lykeion
kepada muridnya Theopratos. Selanjutnya Aristoteles melarikan diri ke Khalkis,
tempat asal ibunya. Ia tinggal di situ sampai akhirnya jatuh sakit dan
meninggal pada usia 62 tahun.[1]
B.
Realisme Aristoteles
Dengan
memasuki abad ke-20, realisme muncul, khususnya di Inggris dan Amerika Utara. Real berarti yang aktual atau yang ada,
kata tersebut menunjuk kepada benda ‑ benda atau kejadian
- kejadian yang sungguh sungguh, artinya yang bukan sekadar khayalan
atau apa yang ada dalam pikiran. Real menunjukkan apa yang ada. Reality adalah
keadaan atau sifat benda yang real atau yang ada, yakni bertentangan dengan
yang tampak. Dalam arti umum, realisme berarti kepatuhan kepada fakta, kepada
apa yang terjadi, jadi bukan kepada yang diharapkan atau yang diinginkan. Akan
tetapi dalam filsafat, kata realisme dipakai dalam arti yang lebih teknis.
Dalam arti filsafat
yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek indera kita adalah real,
benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita
ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Bagi
kelompok realis, alam itu, dan satu‑satunya hal yang dapat
kita lakukan adalah: menjalin hubungan yang baik dengannya. Kelompok
realis berusaha untuk melakukan hal ini, bukan untuk menafsirkannya
menurut keinginan atau kepercayaan yang belum dicoba kebenarannya.
Seorang
realis bangsa Inggris, John Macmurray mengatakan: “Kita tidak bisa melepaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan
antara benda dan ide”. Bagi common sense biasa, ide adalah ide tentang
sesuatu benda, suatu fikiran dalam akal kita yang menunjuk suatu benda. Dalam
hal ini benda adalah realitas dan ide adalah “bagaimana benda itu nampak pada
kita”. Oleh karena itu, maka fikiran kita harus menyesuaikan diri dengan
benda-benda , jika mau menjadi benar, yakni jika kita ingin agar ide kita
menjadi benar, jika ide kita cocok dengan bendanya, maka ide itu salah dan
tidak berfaedah. Benda tidak menyesuaikan dengan ide kita tentang benda
tersebut. Kita harus mengganti ide-ide kita dan terus selalu menggantinya
sampai kita mendapatkan ide yang benar. Cara berpikir common sense semacam
itu adalah cara yang realis; cara tersebut adalah realis karena ia menjadikan “benda”
adalah bukan “ide” sebagai ukuran
kebenaran, pusat arti. Realisme menjadikan benda itu dari real dan ide itu
penampakkan benda yang benar atau yang keliru.[2]
Realisme menegaskan bahwa sikap common sense yang diterima orang secara luas
adalah benar, artinya, bahwa bidang aam atau obyek fisik itu ada, tak bersandar
kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah watak benda yang kita
rasakan [3]
Kecenderungan
berfikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis
dan banyak menggunakan metode empiris. Jika dibandingkan dengan Plato yang
pandangan filsafatnya bersifat abstrak dan idealisme, maka orientasi yang di
kemukakan Aristoteles lebih pada hal-hal yang kongkret (empiris).[4]
Berbeda
dengan Plato tentang persoalan kontradiktif antara tetap dan menjadi, ia
menerima yang berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya, yang semua
itu berada di dunia pengalaman sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah
sebabnya filsafat Aristoteles disebut sebagai realisme.
Meskipun
20 tahun menjadi Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang dunia ide.
Menurutnya tidak ada ide-ide yang abadi. Pemahaman Plato tidak lain adalah
bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi. Menurut Aristoteles,
ajaran Plato tentang ide-ide merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan
bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang
empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu menerima alam ide-ide
abadi. Aristoteles menjelaskannya dengan kemampuan akal budi manusia
untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas
empiris individual.
Tidak
hanya itu, Aristoteles juga menolak paham Plato tentang ide yang baik dan bahwa
hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan ide yang baik
tersebut. Ia beranggapan bahwa paham yang baik itu sedikitpun tidak membantu
seseorang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik. Apa yang membuat
hidup manusia bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia
sendiri.[5]
Realisme
Aristoteles didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide (atau bentuk) bisa ada tanpa
masalah, tapi tidak peduli bisa eksis tanpa bentuk. Aristoteles menyatakan bahwa
setiap bagian materi memiliki sifat universal dan khusus. Sebagai contoh, semua
orang berbeda dalam sifat-sifat mereka. Kita semua memiliki berbagai bentuk dan
ukuran dan tidak ada dua yang sama. Kami melakukan semua berbagi sesuatu yang
universal yang disebut “kemanusiaan.”Kualitas universal ini tentunya nyata
karena itu ada secara mandiri dan terlepas dari satu orang. Aristoteles
menyebut kualitas bentuk universal (gagasan atau esensi), yang merupakan aspek
nonmaterial dari setiap objek materi tunggal yang berhubungan dengan semua
benda lain dari grup tersebut.[6]
Ajaran
Pokok Realisme
a)
Kita hidup dalam
sebuah dunia yang di dalamnya terdapat banyak hal : manusia, hewan, tumbuhan,
benda, dan sebagainya yang eksistensinya benar-benar nyata dan ada dalam
dirinya sendiri.
b)
Objek-objek
kenyataan itu berada tanpa memandang harapan dan keinginan manusia.
c)
Manusia dapat
menggunakan nalarnya untuk mengetahui tentang obyek ini.
d)
Pengetahuan yang
diperoleh tentang obyek hukumnya dan hubungannya satu sama lain adalah petunjuk
yang paling diandalakan untuk tindakan tindakan manusia.[7]
Proses
awal mengetahui adalah dengan sensasi. Sensai adalah tanggapan indera manusia
ketika menangkap objek-objek yang ada. Hasilnya adalah pengalaman indrawi atau
data sensori. Kemudian akal atau pikiran menyortir, merangkai, mengklasifikasi,
mengabstraksikan hasil tangkapan indera tersebut. Proses abstraksi diartikan
sebagai bekerjanya akal pikiran untuk mencari unsur-unsur umum segala obyek
yang harus ada dan selalu ditemukan dalam suatu objek. Dan unsur-unsur lain
yang bersifat kontingen. Proses abstraksi ini sangat penting bagi subjek yang
ingin mendapatkan pengetahuan yang hakiki tentang objek tertentu. Sebagai
contoh, kita melihat segala jenis kuda, ada kuda zebra, kuda australia, kuda sumbawa,
kuda poni dan sebagainya. Walaupun kuda poni lebih kecil dibandingkan kuda
lainnya tetapi kita tahu bahwa kuda poni termasuk jenis kuda. Sebaliknya,
walaupun kita tahu bahwa sapi itu besarnya sama dengan kuda tapi kita tahu
bahwa sapi tidak termasuk golongan kuda. Hal ini disebabkan kita
mengabstraksikan berbagai hewan yang dilihat yang mempunyai unsur unsur umum
yang dapat digolongkan ke dalam jenis hewan bernama kuda. Jadi sebenarnya dalam
proses abstraksi itu seseorang menangkap bentuk umum suatu objek, sedangkan
sensasi menghadirkan materi sebuah obyek.
Bagi
kaum realis, mengetahui adalah dua buah sisi proses yang melibatkan sensasi dan
abstraksi. Proses ini sesuai dengan konsep realis tentang alam raya yang
dualistic, tersusun atas materi dan struktur (komponen dan forma). Bila sensasi
diperkenalkan dengan obyek dan memberi kita informasi tentang aspek material
dari obyek ini dan kemudian data masuk ke dalam pikiran kita seperti data yang
masuk kedalamprogram computer. Sekali masuk kedalam pikiran data sensori ini
dipilih dipilih den digolongkan dan didaftar. Melalui sesuatu proses
asbtraksi, akal sehat merangkai data dalam dua kategori besar, yang satu
sebagai sesuatu yang harus ada yang selalu ditemukan dalam sebuah objek dan
yang lainnya bersifat kontingen atau kadang-kadang ditemukan dalam sebuah
objek. Yang selalu hadir itulah yang harus ada atau esensial bagi objek,
disebut juga bentuk atau struktur. Bentuk adalah objek tepat dari abstraks.[8]
C.
Pengaruh Pemikiran Aristotelesn
Pengaruh
Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di
zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris.
Kami-kami Yunani yang muncul kemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium
mempelajari karyanya dan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat,
buah pikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad- abad
lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes),
mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan
antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir
paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme.
Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa
Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih
sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya
oleh pikiran Aristoteles.
Kekaguman
orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah ketika
keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu
tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu
tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang
jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah
lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya
terhadap tulisan-tulisannya.
Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabatwanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini tentu saja mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dankejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalamseni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).
Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabatwanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini tentu saja mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dankejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalamseni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).
Di
abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles telah merosot. Namun,
ada yang berpikir bahwa pengaruhnya sudah begitu menyerap dan berlangsung
begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa menempatkannya lebih tinggi dari
tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingkat urutannya sekarang ini terutama
akibat amat pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam urutan.
Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan yang pertama ketika dia
masih belajar di Akademi Plato ketika gagasannya masih dekat dengan gurunya
tersebut, kemudian ketika dia mengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin
Lyceum mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap
sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang
Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya seni.
Di
bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan
mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini
menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap
hukum alam dan keseimbangan pada alam.
Berlawanan
dengan Plato yang menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda,
Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada
(eksis). Pemikiran lainnya adalah tentang gerak dimana dikatakan semua benda
bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak
teleologis. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada
penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba
pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos,
yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.
Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning),
yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran
tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia
menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif
(inductive thinking).
Hal lain dalam kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah silogisme yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran yang telah ada. Misalkan ada dua pernyataan (premis). Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor).
Hal lain dalam kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles adalah silogisme yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran yang telah ada. Misalkan ada dua pernyataan (premis). Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor).
Sokrates
adalah manusa (premis minor)
Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa Sokrates pasti akan mati
Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti Fisika, Astronomi, Biologi, Psikologi, Metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti Fisika, Astronomi, Biologi, Psikologi, Metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
Di
bidang seni, Aristoteles memuat pandangannya tentang keindahan dalam buku
Poetike. Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan.
Ia mengatakan bahwa pengetahuan dibangun atas dasar pengamatan dan penglihatan.
Menurut
Aristoteles keindahan menyangkut keseimbangan ukuran yakni ukuran material.
Menurut Aristoteles sebuah karya seni adalah sebuah perwujudan artistik yang
merupakan hasil chatarsis disertai dengan estetika. Chatarsis adalah
pengungkapan kumpulan perasaan yang dicurahkan ke luar. Kumpulan perasaan itu
disertai dorongan normatif. Dorongan normatif yang dimaksud adalah dorongan
yang akhirnya memberi wujud khusus pada perasaan tersebut. Wujud itu ditiru
dari apa yang ada di dalam kenyataan. .aristoteles juga mendefinisikan
pengertian sejarah yaitu Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu
kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aristoteles lahir di Kota Stageria,
semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM, dan meninggal di
Kalkis pada tahun 322 SM. Ia adalah anak dari Nicomachus, seorang dokter istana
Macedonia pada masa pemerintahan Raja Amyntas II.
Realisme Aristoteles didasarkan pada
prinsip bahwa ide-ide (atau bentuk) bisa ada tanpa masalah, tapi tidak peduli
bisa eksis tanpa bentuk. Aristoteles menyatakan bahwa setiap bagian materi memiliki
sifat universal dan khusus.
Ajaran
Pokok Realisme
a.
Kita hidup dalam
sebuah dunia yang di dalamnya terdapat banyak hal : manusia, hewan, tumbuhan,
benda, dan sebagainya yang eksistensinya benar-benar nyata dan ada dalam
dirinya sendiri.
b.
Objek-objek kenyataan
itu berada tanpa memandang harapan dan keinginan manusia.
c.
Manusia dapat
menggunakan nalarnya untuk mengetahui tentang obyek ini.
d.
Pengetahuan yang
diperoleh tentang obyek hukumnya dan hubungannya satu sama lain adalah petunjuk
yang paling diandalakan untuk tindakan tindakan manusia
Pengaruh Aristoteles terhadap cara
berpikir Barat di belakang hari sungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman
pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab,
Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris.
DAFTAR PUSTAKA
Harold H, Titus, dkk, Living
in Philosophy , Jakarta : PT. Bulan Bintang
Muzairi, Filsafat Umum,
Yogyakarta: Teras, 2009
Maksum, Ali, Pengantaar Filsafat,
Yogykarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Nisa Aisyah, Realisme Aristoteles, http://nisaaisyah05.blogspot.com/2012/11/realisme-aristoteles.html,
Riswari, Realisme
Aristoteles, http://anawari.blogspot.com/2013/04/realisme-aristoteles.html,
Tekno, Media,
Realisme Aristoteles dalam Filsafat
Pendidikan, http://media-tekno.blogspot.com/2011/10/realisme-aristoteles-dalam-filsafat.html,
[6] Nisa Aisyah, Realisme Aristoteles, http://nisaaisyah05.blogspot.com/2012/11/realisme-aristoteles.html,
diakses pada tanggal 7 November 2014
[7] Media
Tekno, Realisme Aristoteles dalam
Filsafat Pendidikan, http://media-tekno.blogspot.com/2011/10/realisme-aristoteles-dalam-filsafat.html,
diakses pada tanggal 7 Nopember 2014.
[9] Riswari,
Realisme Aristoteles, http://anawari.blogspot.com/2013/04/realisme-aristoteles.html,
diakses pada tanggal 7 Nopember 2014.
mencari jodoh
BalasHapus